Hiruk pikuk berita tentang penyelenggaraan Pilkada,  menyaingi berita perkembangan virus Covid-19, Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB/ New Normal) dan Pembatasan Skala Besar Bersama (PSBB) diberbagai media Indonesai baik online maupun offline (cetak), yang menarik bukan penyelenggarannya tetapi beberapa kerabat petinggi negara dan daerah serta partai politik  yang terlibat untuk ikut dalam kompetisi tersebut. Hal ini menimbulkan polemik di masyarakat sehingga dikenali umum sebagai politik dinasti.
Politk dinasti sebenarnya bukan hal baru bagi masyarakat karena dalam sejarah sudah ada sejak zaman sebelum dan sesudah penjajahan, kemerdekaan, orde lama, orde baru, reformasi sampai sekarang masih kerap terjadi dalam pemilihan pemimpin di tengah masyarakat.
Pendidikan lebih tinggi dan kekayaan lebih dari cukup atau melimpah serta jaringan atau relasi lebih luas di dalam masyarakat merupakan modal utama yang mereka miliki dbandingkan dengan kebanyakan masyarakat umum, membuat peluang lebih besar untuk mendapatkan posisi sebagai pemimpin atau pejabat negara maupun daerah. Bukan tidak mungkin masyarakat biasa dapat menduduki  posisi tersebut, tetapi harus memiliki ketiga hal seperti disebut di atas.
Membangun jaringan atau relasi, bukan perkara yang mudah bagi orang umum atau biasa karena membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mewujudkannya tapi hal yang sangat mudah bagi orang yang kerabat terdekatnya sudah mempunyai kedudukan atau posisi penting di pemerintahan pusat atau daerah. Berbondong-bondong orang akan bersedia untuk menjadi teman, sahabat dan pendukung dengan berbagai latar belakang tujuan yang ingin mereka capai melalui hubungan itu.
Pada waktu Pileg (Pemilihan Legislatif ) DPR, DPRD dan DPD tahun 2019 dan sebelumnya, dapat Kita lihat beberapa anggota yang terpilih, mempunyai hubungan kekerabatan atau saudara dengan pemimpin atau pejabat negara atau daerah, bahkan pimpinan partai-partai politik yang ada di Indonesia. Hal ini juga berlaku pada saat pemilihan pemimpin daerah seperti; pemilihan gubernur dan wakil gubernur, walikota dan wakil walikota, bupati dan wakil bupati, dan kepala desa dan wakilnya.
Perkembangan kebudayaan manusia di mulai ketika cara hidupnya  sudah mulai tidak berpindah-pindah atau nomaden menjadi menetap di suatu wilayah untuk waktu yang lama. Berladang atau bercocok tanam mulai mereka jalani selain berburu  untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar dan  bertahan hidup.
Seiring waktu, yang awal mulanya mereka hidup dengan kelompok-kelompok kecil, berangsur-angsur melebur dan berkembang menjadi besar sehingga membentuk suatu masyarakat dimana mereka membutuhkan pemimpin untuk melindungi dan mengatur kehidupan agar berjalan aman dan damai.
Pada saat itu pemimpin di pilih berdasarkan besar kecilnya pengaruh dalam kelompok  serta dukungan dan ijin dari sesepuh atau para ketua adat. Kriteria tersebut biasanya dimiliki oleh keturunan pemimpin sebelumnya sehingga sudah menjadi tradisi untuk menurunkan jabatan sebagai pemimpin kepada keturunan berikutnya yang mempunyai pertalian darah atau kerabat terdekat atau dengan kata lain politik dinasti.
Ketika Kita flash back atau melihat kebelakang bahwa tradisi untuk meneruskan  kekuasaan pada keluarga terdekat sudah ada sejak dahulu kala. Masalahnya, jika kekekuasan yang diberikan kepada penerus berikutnya, digunakan tidak semestinya atau sewenag-wenang dalam pelaksanaannya. Sebenarnya rakyat tidak ambil pusing tentang siapa yang menjabat sebagai pemimpin baik itu karena politik dinasti atau bukan, asalkan mereka dapat memenuhi keinginan merekak yaitu; aman dalam menjalani aktivitas sehari-hari, mudah mendapatkan pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan perlakuan setara di depan hukum.
Memang saat ini mendidik masyarakat untuk memilih pemimpin berdasarkan kualitas belum menampakan hasil yang baik karena sebagian besar ekonomi masyarakatnya masih hidup di bawah sejatera, sehingga mudah untuk dijadikan sasaran politik uang.Â
Sekarang tugas dan tanggung jawab partai partai politik dan kelompok masyarakat untuk mendidik dan memilih orang-orang berkualitas serta bertanggujawab untuk diajukan sebagai pemimpin atau pejabat bukan karena kekerabatan, ketenaran dan kekayaan.
Pada masa yang akan datang, ketika kebutuhan dasar masyarakat mulai terpenuhi dengan mudah atau sejatera maka mereka diharapkan akan menggunakan haknya menjadi pemilih yang cerdas untuk memilih pemimpin, walaupun membutuhkan waktu yang lama, Kita harus yakin bahwa masa itu akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H