Mohon tunggu...
setiawan rahayu
setiawan rahayu Mohon Tunggu... -

kopi dan singkong rebus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memeluk Jalan

17 November 2011   06:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:33 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Mimpi tak dapat kami rintangi, mimpi satu-satunya yang kami miliki. Andai-pun mereka dapat memilih tak akan terlintas dalam mimpi mereka kan menjadi seperti ini.

Tangannya memeluk erat tiang listrik, kaki bak tertimbun tak mau bergerak, tatap mata lurus menatap seorang pria yang jongkok dengan kedua tangan menutupi kepala berharap pukulan terhenti.

Perempuan itu hanya terdiam, bibirnya berucap, namun tak terdengar oleh ku. Dari kejauhan ku hanya dapat melihat gerak bibirnya, entahlah apakah doa, apakah mantra.

Tak jauh dari tempat ku, segerombolan pria dan perempuan muda mengintip di dalam gang sempit. Tatap mereka tertuju serupa menatap seorang pria yang berteriak minta pengampunan. Dua orang pria penguasa jalan dengan kuasanya tangan dan kaki tidak lagi berada di tempat seharusnya, memukul dan menendang dengan irama tak beraturan.

Pemandangan yang membuat darah ku panas. Namun, aku hanya terdiam seperti kucing yang takut terhadap anjing buas. Diri ku terdiam.

Siang ini begitu panjang. Perempuan itu terus memegang tiang listrik, pegangannya semakin erat memeluk. Debu di pinggir jalan, menambah kesedihan di raut wajah yang perlahan mengalir air mata. Tangisnya mendidihkan darah ku.

Ke dua orang itu ku kenal. Mereka teman ku. Pasangan kekasih yang belum lama menikah, tangis yang ku lihat saat itu tak seperti ini. Tangis kebahagiaan di dalam ikatan suci pernikahan mereka. Gerak bibir yang ku perhatikan di saat itu tak seperti ini, gerak bibir mesra, gerak bibir cumbu-rayu, gerak bibir yang membuat, Adi kekasihnya tersenyum bahagia.

Peluknya saat ini, tak seperti puluk disaat mereka di persatukan, peluknya erat menghangatkan. Kehangatan yang kami turut rasakan yang menyaksikan kebahagiaan mereka. Tatap mata kami tertuju kepada mereka, tatap mata kebersamaan, tatap mata harapan masa depan. Tatap mata angan-angan dan mimpi bahwa dari mereka kan terlahir cahaya yang menerangi kami, harapan masa depan yang lebih baik. Mimpi kami semua mengapa kami terlahir di sini.

Mimpi tak dapat kami rintangi, mimpi satu-satunya yang kami miliki. Andai-pun mereka dapat memilih tak akan terlintas dalam mimpi mereka kan menjadi seperti ini. Kenyataan mereka harus jalani. Jalanan di persimpangan menjadi sebagian nafas hidup. Mengatur lalu lintas berteman dengan kendaraan bermotor serta truk-truk besar merupakan penyambung hidup.

Tiap ku melintasi putaran jalan ini, tuk menjalani hidup, wajah mereka bersahabat. Wajah semangat. Wajah yang siap menantang sapaan pagi, panas matahari, dinginnya malam dan debu. Tiap jam pergantian di antara mereka saling berbagi nafas hidup. Kebersamaan saling membagi pelajaran hidup yang ku kenal.

Selepas pergantian mereka menepi, di pinggir jalan di bawah tiang listrik mereka berkumpul, puluhan koin terhampar di hadapan mereka, tumpuk demi tumpuk berbagi. Cukup membahagiakan bagi ku yang melihatnya.

Namun, di siang ini semua berubah. Semua berganti dengan cepat. Saling berbagi, ke bersamaan, dan cinta runtuh. Tangan-tangan penguasa jalan dengan ringan menghantam, memukul. Kaki-kaki menendang dengan riang di terima dengan teriakan ampun. Tak berdaya.

Kepedihan dalam hati ku, tak sebanding baginya. Asti, tiba-tiba berlari tangannya tak kuasa lagi memeluk tiang listrik yang hanya terdiam, kakinya tak lagi tertimbun bumi. Genggaman bumi tak kuasa lagi menahan kepedihannya. Air mata semakin keras mengalir menutupi wajah. Suaranya lantang berteriak memecah hati kami. Meruntuhkan hati kami yang pengecut !

Asti berlari, hanya berlari menuju Adi. Tubuhnya terhempas ! Tangannya terus menggapai memeluk jalan, tubuhnya tak merasakan kehangatan Adi, panas jalan yang ia rasakan, ia terus menangis… ”jangan, jangan !”, ucapnya. Terus ia ucapkan hingga lirih, darah mengalir, berharap pesan hati tersampaikan.

Kami berhamburan, sekejap kendaraan terhenti. Wajah-wajah pengendara hanya melihat terdiam. Kami berhamburan menggapai mimpi. Kami berhamburan menggapai kenyataan hidup. Kami hanya sanggup berlari.

Adi tak sanggup lagi melihat hidupnya terhempas, ia berlari memeluk kekasihnya, tangis. Ya, dengan tangis pengusasa jalan itu berhenti memukul dan menendang. Dengan darah yang tertumpah mereka terhenti. Tangan dan kaki mereka tak menyentuh dua sosok manusia yang bergeletak. Tangan dan kaki mereka bergerak angkuh menguasai jalan. Kemacetan itu di kepala mereka !!!

Di siang itu, kami kini berkumpul di kontrakan Adi. Tangis kepergian. Mimpi dan harapan kami lenyap. Bumi menyimpan mereka. Selamat jalan sahabat. Hati ku yang pengecut hanya sanggup berdiam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun