Mohon tunggu...
setiawan rahayu
setiawan rahayu Mohon Tunggu... -

kopi dan singkong rebus...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mati Suri

9 Februari 2011   14:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:45 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tidak mencintainya !!! Bagaimana mungkin ! Segala jiwa dan raga kuserahkan padanya tanpa sedikit-pun relung hati terukir namanya ? Bagaimana ku tatap mentari pagi, dan menyapa datangnya bulan bersamanya ? Tak pernah ku berbincang mengenai hidup dan cita-cita bersamanya, keringat ku tak mengenal wajah nya, tangan ku tak pernah menggandeng hatinya, kaki ku tak mengenal jejak langkahnya, mata ku tak menatap syair hidupnya. Pilihan yang harus ku telan mentah-mentah tanpa mencerna dan merangkul dalam indra.

Andai Ayah masih hidup ! Ya, andai Tuhan tak memanggil namanya dengan cepat.  Andai kami yang menumpang hidup dapat menyatakan permintaan tentang kehidupan. Tentu akan meminta pada-Nya. " Tuhan, jangan kau panggil namanya !" Andai aku diberikan pilihan mempertemukan Ayah tuk berbalas kasih dengan Ibu. Ku tahu dengan pasti. Ia akan menolak pernikahan ku dengan nya.  Ayah, benarkan keinginan ku ini ? Rupanya tanpa sadar aku bersikap seperti Tuhan,  mampu menentukan jalan hidup manusia. Ya, andai kemampuan itu ada padaku, maukah Tuhan memberikannya ? Semenjak kematian bersenggama dengan keluarga kami. Semua harus dimulai dengan senyum kesedihan. Masih jelas teringat merdunya jari Ibu bergerak tanpa arah melukis batik,  arah yang sudah turun menurun terlahir dalam dirinya. Keseharian, dan kehidupan cukup membutakan dirinya tuk melepaskan tangannya menggenggam keinginan tuk melangkah demi kami.  Semua untuknya hidup dan raga. Pasti dan kian pasti, tangan Ibu semakin bergetar tak selincah dahulu. Bangunan megah tampak diluar, rapuh di dalam. Satu persatu alat produksi yang kami miliki dengan bangga, terlepas.  Kami hanya tukang. Kami hanya memiliki tenaga. "Jika pun itu kau ambil maka roh kami pun tak cukup memberikan kami nafas !". Pasar Batik Klewer hasil keringat kami, batik indah yang kau kenakan terdapat jerit tangan Ibu ku !" Himpitan hidup, menghantarkan diri menjadi Nonya kedua Broto. Salah satu pria tua yang berlebih harta, hingga satu istri pun dirasa belum cukup. Roh pun kau ambil ! Ya, Tak cukup. Memancar dimatanya yang sayup sejuta tanda tanya, apa yang kau inginkan. Tak cukup, berapa tukang yang kau miliki, berapa tanah yang kau miliki, dan berapa kekayaan yang kau miliki, tak cukup hingga kematian menimpa. Kekayaan menjadi satu kata yang agung.  Mampu membeli apapun hingga keluarga kami. Aku bagaikan salah satu kain baginya. Kain yang dipamerkan, jeritan keluarga ku..............mati suri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun