Mohon tunggu...
Setiawan Muhdianto
Setiawan Muhdianto Mohon Tunggu... Relawan - Penikmat Kehidupan

Berusaha untuk nggegayuh kaprawiran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Polusi Udara Jakarta Sudah Parah, Saatnya Pindah Ibu Kota

13 September 2023   22:36 Diperbarui: 7 Oktober 2023   11:29 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena super blue moon yang terjadi pada 31 Agustus 2023 seharusnya menjadi peristiwa yang menarik. Bulan akan terlihat lebih besar dan lebih terang dari biasanya. Tapi di Jakarta terlihat berbeda. Bulan memang tampak lebih besar tapi sinarnya justru lebih redup dari biasanya. Cahaya bulan terhalang oleh kabut polusi.

Kasihan sekali tuh bulan, maksud hati menerangi semesta apa daya polusi menyelimuti Jakarta. Sudah begitu, di langit tiada kawan pula. Ya, bulan nampak sendirian. Hanya beberapa gelintir bintang saja yang menemani, itu pun samar-samar terlihat. Langit Jakarta sudah penuh dengan polusi cahaya masih terkena polusi udara pula.

Telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengurangi polusi udara Jakarta. Tapi sepertinya doi bandel banget, kagak pergi-pergi tuh sih polusi. Cinta amat sama Jakarta.

Usaha dari atas dengan rekayasa cuaca sudah dicoba. Upaya dari bawah menyedot sungai atau air bawah tanah untuk disemprotkan pun telah dilakukan. Para pegawai pun sudah banyak yang WFH. Sidak, operasi maupun sanksi kepada penyumbang besar polutan pun digencarkan. Penjualan kendaraan listrik pun dimasifkan. Transportasi masal LRT pun dioperasikan. Tetap saja tingkat polusi udara tidak berkurang signifikan.

Polusi udara Jakarta sebenarnya sudah berlangsung puluhan tahun. Tapi mengapa tahun ini seolah begitu istimewa? El Nino, si anak laki-laki itulah biang keroknya, kata para ahli. Si Dia nih menjadikan musim kemarau menjadi sangat kering dan berlangsung lebih lama. El Nino merupakan fenomena pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normalnya, yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Efeknya meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah, dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia. Penjelasan ilmiah lengkapnya sungguhlah rumit, Intinya kemarau berlangsung lama, hujan lama tak turun.

Hujan ternyata bisa mencuci udara. Udara yang kotor dicuci oleh hujan, kotoran polutan turun bersama air hujan. Saat ini para polutan berpesta pora di atas Jakarta. Mereka berkumpul, bergembira melayang-layang yang nampak berupa kabut keabu atau kehitaman.

Ulah para polutan sungguhlah merepotkan negara. KTT ASEAN telah digelar di Jakarta di saat udara Jakarta sedang tidak baik-baik saja. Sebagai tuan rumah, kita ingin terlihat baik di mata para tamu. Berita negatif sedikit saja tentang udara Jakarta akan berdampak pada citra Indonesia di mata dunia internasional. Kita tidak ingin, para delegasi sepulang dari KTT jadi batuk-batuk, sesak nafas, asma kambuh, bengek ataupun mata merah.

Semua instansi pemerintah turun tangan mencoba mengatasi. Lurah, camat, walikota, gubernur, dirjen, menteri bahkan presiden turun tangan. Wajah-wajah pejabat tersebut menjadi sering muncul di media massa untuk memberikan informasi, himbauan maupun langkah-langkah apa yang telah dilakukan. Semua demi satu target, awal September kondisi udara Jakarta harus membaik.

Pernah sih udara Jakarta begitu bersih, langit pun cerah. Sampai-sampai gunung Salak begitu jelas terlihat. Bukan tahun 50-an lho. Ya, saat horor-horornya pandemi Covid-19, foto itu begitu viral. Tapi sekarang? Gedung yang jaraknya beberapa kilo saja terlihat samar.

Penanganan masalah ala pemadam kebakaran untuk jangka pendek mungkin cukup efektif. Akan tetapi, butuh penanganan yang lebih substantif dan jangka panjang. Perlu usaha seluruh komponen masyarakat untuk menanggulanginya. Butuh kesadaran dari seluruh warga, khususnya warga Jakarta untuk mengurangi polusi udara. Setidak-tidaknya ada kesadaran untuk untuk tidak memperparahnya. Pemerintah juga harus terus melakukan langkah-langkah yang efektif untuk mengurangi polusi. 

Atau, haruskah kita berharap pada pagebluk semacam covid-19 datang lagi? Biar orang-orang di rumah sepanjang hari? Agar jalanan sepi? Supaya pabrik-pabrik berhenti beroperasi?

Permasalahan Jakarta sebagai ibu kota negara memang sudah begitu parah. Ibarat penyakit, polusi hanyalah gejala saja. Gejala dari berbagai persoalan yang tidak tuntas diatasi. Dan juga akan memunculkan masalah-masalah baru lagi.

Pemindahan ibu kota negara merupakan salah satu solusi mengatasi polusi udara Jakarta saat ini. Itu diutarakan oleh penguasa tertinggi negeri ini. Awal mulanya saya tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Waktu itu saya berpikir itu hanya akan membuang-buang waktu, biaya, tenaga dan energi bangsa. Saya juga khawatir akan masa depan Jakarta ketika tidak menjadi ibu kota negara. Khawatir akan diabaikan, tidak diperhatikan dan ditinggalkan oleh pemerintah sehingga menjadi kacau.

Namun sekarang saya berubah pikiran ketika permasalahan Jakarta semakin parah. Ketika kemacetan makin menjadi. Manakala polusi udara belum juga teratasi. Tatkala ancaman banjir selalu menghantui. Serta setumpuk persoalan lain seperti penurunan muka tanah, rob, buruknya air tanah, ancaman kriminalitas, pengangguran dan lainnya.

Memang saya akui, bisa jadi perubahan pikiran saya ini buah dari keberhasilan “rekayasa” pihak tertentu. Keberhasilan menciptakan opini publik bahwa pemindahan ibu kota negara adalah kebijakan yang sangat tepat. Saya masih ingat betul sebelum hangatnya isu polusi udara, isu kemacetan Jakarta menghiasi media masa maupun media sosial. Narasi bahwa Jakarta sudah sangat crowded kemacetannya bertebaran di mana-mana. Begitu juga dengan isu polusi udara, bisa jadi isu ini juga “diciptakan”. Atau sebenarnya polusi sebenarnya fenomena biasa tapi dipoles sedemikian rupa sehingga booming

Pindahnya ibu kota negara semoga membawa pemerataan. Pembangunan insfrastruktur, ekonomi, pendidikan dan teknologi seharusnya merata untuk seluruh wilayah Indonesia. Termasuk juga, pemerataan dalam hal kemacetan, polusi udara, banjir, kerusakan lingkungan dan masalah-masalah lain. Wilayah Indonesia begitu luasnya, mengapa hanya warga Jakarta yang merasakannya?

Ayo lekas pindah! Pindahlah segera! Kalau perlu sekarang! Agar ibu kota negara yang baru juga segera merasakan kemacetan, polusi dan kerusakan lingkungan. Eits…..jangan khawatir tentang hal itu, kata seorang pejabat. Investornya dari luar negeri katanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun