Mohon tunggu...
Setiawan Eko Nugroho
Setiawan Eko Nugroho Mohon Tunggu... Ilmuwan - S1 Informatika Amikom University

Peneliti dan Pengajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyair Perempuan Pesantren

8 Mei 2020   18:36 Diperbarui: 8 Mei 2020   18:32 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini lahir perempuan lain. Dia menulis puisi-puisi dan menghimpunnya dlm "Setumpuk Surat Cinta". Meski tdk sama dg Rabi'ah Adawiyah. Nama perempuan yang lain itu mengalami hidup dalam kegetiran. Hari-harinya adalah kemurungan, nestapa, merana dan lara. Malam-malamnya yg sepi adalah kerinduan, kegundahan, dan rinai tangis.

Jari- jemarinya tiba-tiba saja menggoreskan seluruh luka hatinya pada kertas putih yg sempat di Jumpainya. Lembar demi lembar goresan pena itu dia lemparkan begitu saja terbang ke langit nan jauh. Terserah Tuhan, akan menerima atau tidak. Dia tak peduli. Dia berkirim surat padaNya, Setumpuk. Hatinya kini menyerah seluruh-penuh. Sebab Dialah penguasa segala. Nayla mengadu luka campur rindu kepadaNya :

Demi diriMu yg Maha Kuasa..
Engkau mampu berbuat sesuatu yang Kau suka
Sedang aku..
Telah jera merasakan  semua,,
Namun..._
Aku takkan pernah mampu menghindar,,
Bila pintaku ini tak Engkau dengar
(puisi Kumohon, hal 62).

Dan Nayla , santriku itu, terpesona. Matanya berbinar-binar. Tuhan menerima surat-surat cintanya. Segala duka berhari-hari, berbulan-bulan tiba-tiba saja pergi, menghilang pelan-pelan, satu-satu dan lenyap.

Dari sini aku lagi-lagi ingat Maulana Rumi yg kata2nya selalu merindukan. Katanya suatu saat :  

Lihatlah, aku telah banyak mencoba
Dan mencari dimana-mana Tetapi tak pernah ku temukan seorang sahabat
Aku telah mencoba setiap musim
Setiap butir anggur
Tetapi tak pernah merasakan kenikmatan anggur
Semanis diri-Mu

PERBINCANGAN  MANIS  

Aku berbincang lama dengannya suatu malam. Bicaranya begitu lancar. Kadang berceloteh, bercanda, tertawa panjang. Dari bibirnya meluncur kata-kata kearifan. Dia bercerita tentang doa yg di panjatkannya pada setiap nafas berhembus ketika hati di jerit trenyuh dan bacaannya ketika sendiri yg senyap, "Aku selalu membaca surah Alam Nasyrah'.  

Aku terdiam, terpesona dan luluh. Dalam termangu aku mengingat penuh alm. kakekku Kiai Slamet berkidung :
 
Ketika dukamu menghimpit palungmu
Renungkan Alam Nasyrah'
Kau temukan satu luka dengan dua ceria.
Taffakur , kau akan bahagia..

Ketika aku tanya, : "Apakah kata2 yg indah itu apa kamu membaca buku2 Rumi, Ibn Arabi, Sa'di, Sana'i atau Attar?". Santriku Nayla menjawab tidak. Rasionalitas saya terganggu. Nayla mengantarkan saya utk mengatakan "Meski rasionalitas adalah penting bagi kehidupan, tetapi ia tdk selalu dpt menyelesaikan masalah. Begitu bnyk problem kehidupan yg gagal di selesaikan oleh jwban2 rasional"

Saya ingat al-Ghazali, sang Imam dlm al Munqidz Min alDhalal (Pembebas dari Kesesatan). Rasionalitas al-Ghazali juga hancur berkeping-keping. Ia tak menjangkau Eksitensi Tuhan,? meski menyakini AdaNya. al-Ghazali sakit, berduka dan menangis tersedu-sedu, memohon ampunan. "Istafti Qalbak", kata Nabi Saw. Bertanyalah pada hatimu. Maka perjalanan al Ghazali berhenti pada spiritualitas, mencintai Tuhan. Kpada Nya dia mengabdikan diri. Lalu jari-jemarinya bersinar begitu saja bergerak lincah tanpa seorangpun bisa menghadang. Maka Jadilah "Ihya' Ulumuddin", mahakarya yg di Puja2 orang Sepanjang Masa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun