Mohon tunggu...
Setiawan Triatmojo
Setiawan Triatmojo Mohon Tunggu... -

Lahir di Rejang Lebong, 05 - 04 - 1971. Belajar filsafat umum. Pekerja sosial. Saat ini sedang mendalami teologi sosial di Paris.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sesat Pikir Mendagri Terkait FPI

25 Oktober 2013   19:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:02 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Latarbelakang

Semula saya tidak tahu persisnya seperti apa maksud pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi, yang mengimbau kepala daerah menjalin kerja sama dengan FPI dan apa konteksnya. Setelah datang banyak kritikan, beliaunya mencoba mengklarifikasi bahwa maksudnya kerjasama itu tidak hanya dengan FPI, namun juga dengan ribuan ormas yang lain. Dan kerjasama bisa dilakukan dalam hal-hal yang baik, yang sesuai dengan kekhususan ormas tersebut. Namun demikian saya tetap melihat ada paradigma yang keliru dalam kasus ini. Tentu saja yang berkaitan lansung dengan hakikat FPI sebagai organisasi masyarakat.

Prinsip Dasar Organisasi Massa

Organisasi massa, jika itu dalam rangka membantu membangun masyarakat atau negara mustinya sejalan dengan visi-misi dan landasan dasar masyarakat dan negara yang berlaku. Itu menjadi syarat mutlak yang tidak bisa ditawar lagi. Dapat saja mereka berasal dari kategori keagamaan: seperti halnya Perhimpunan-perhimpunan mahasiswa (jika dengan huruf “I” di akhir adalah Indonesia, maka berarti landasannya adalah Dasar Negara yakni Pancasila). Saya ambil satu contoh: PMKRI, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia. Kita bisa melihat di sana bahwa organisasi massa Mahasiswa Katolik ini pertama-tama didirikan adalah untuk RInya, bukan untuk Katoliknya dank arena itu landasannya adalah Pancasila. Maka kalau PMKRI tidak mempunyai sumbang sih apapun terhadap NKRI, ia berarti mengkhianati hakikatnya sendiri.  Demikian juga WKRI.

Untuk ke dalam Gereja Katolik sendiri sudah ada organisasi lain, yang bernama OMK (Orang Muda Katolik) dan Ibu-ibu Paroki, yang tidak ada sangkut pautnya dengan organisasi kemasyarakatan.  Segala kegiatan mereka untuk kepentingan ke dalam, urusan iman dan kegiatan gerejani (urusan privat). Sedangkan jika mereka mau melakukan tugas pengabdian kepada masyarakat secara organisatoris, mereka bergabung dalam organisasi massa itu (urusan publik) entah di PMKRI atau Pemuda Katolik, atau WKRI.  Namun juga tidak tertutup kemungkinan OMK sendiri  ikut berkegiatan sosial di masyarakat, dan tentu saja tujuannya adalah untuk kepentingan masyarakat, untuk kepentingan umum, kepentingan publik itu.

Saya cukup “yakin” bahwa di tiap agama ada prinsip privat dan publik seperti ini. Setiap orang berhak memilih sendiri urusan privatnya, namun sekaligus punya tugas dan tanggungjawab terhadap urusan publik, yang keduanya dapat dibedakan dan dipisahkan. Mengurusi dan mengembangkan kebutuhan privat masing-masing adalah urusan yang tidak bisa diganggugugat dan hanya bisa dihormati. Namun itu dilakukan tanpa mengganggu urusan publik. Dan selanjutnya dapat bekerjasama dengan seluruh anggota masyarakat dalam memenuhi atau mengupayakan kebutuhan publik. Saya andaikan apa-apa  saja  urusan privat dan publik ini sudah dimengerti, sehingga tidak perlu saya jelaskan lagi.

FPI

Supaya saya tidak asal tulis, saya mengambil informasi tentang FPI ini di Wikipedia-Indonesia. Demikian tertulis di sana.

Front Pembela Islam (FPI) adalah sebuah organisasi massa Islam bergaris keras yang berpusat di Jakarta. FPI dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 (atau 24 Rabiuts Tsani 1419 H) di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, di Selatan Jakarta oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim dan disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek. Pendirian organisasi ini hanya empat bulan setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, karena pada saat pemerintahan orde baru presiden tidak mentoleransi tindakan ekstrimis dalam bentuk apapun. FPI pun berdiri dengan tujuan untuk menegakkan hukum Islam di negara sekuler.”

Jika benar bahwa visi FPI adalah menegakkan hukum Islam di NKRI, dalam arti untuk mengganti dasar Negara, tentu saja hal ini sudah bertentangan dengan prinsip dasar setiap organisasi massa di NKRI ini. Jika dalam hakikat saja sudah bertentangan, tentu saja harapan kerjasama demi kepentingan satu pihak, yakni NKRI, tentu saja menjadi sesuatu yang mustahil.

“Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar di setiap aspek kehidupan. Latar belakang pendirian FPI sebagaimana diklaim oleh organisasi tersebut antara lain:1. Adanya penderitaan panjang ummat Islam di Indonesia karena lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer akibat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa. 2. Adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan. 3. Adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta ummat Islam.”

Saya kira tidak ada yang salah ketika organisasi keagamaan ingin mengurusi kepentingan ke dalam, dalam segala aspeknya. Dan itu tentu saja sesuatu yang wajar. Itulah kepentingan privat. Urusan peribadatan, penggunaan hukum agama di kelompoknya masing-masing, tentulah masih termasuk urusan privat. Tidak akan ada yang melarang bahwa hukum agama diterapkan di agama masing-masing. Namun akan menjadi keliru kalau hukum agama, yang seharusnya berlaku di agama masing-masing dipaksakan untuk diberlakukan di dalam urusan publik, yang nyata-nyata bersifat plural.

“Pada tahun 2002 pada tablig akbar ulang tahun FPI yang juga dihadiri oleh mantan Menteri Agama dan terdakwa kasus korupsi Dana Abadi Umat (DAU), Said Agil Husin Al Munawar, FPI menuntut agar syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 45 yang berbunyi, "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dengan menambahkan "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" seperti yang tertera pada butir pertama dari Piagam Jakarta yang dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945 ke dalam amandemen UUD 1945 yang sedang di bahas di MPR sambil membawa spanduk bertuliskan "Syariat Islam atau Disintegrasi Bangsa".

Saya pertebal pada kalimat yang ingin saya garisbawahi. Jika kalimat “kewajiban menjalankan syariat Islam…”  itu sampai masuk dalam UUD NKRI, itu akan menjadi satu-satunya pasal yang mengingkari dan mengkhianati prularitas keanggotaan bangsa Indonesia. Dan itu akan menjadi potensi dan bahkan problem yang abadi. Karena dengan demikian akan ada satu kategori anak bangsa yang dikhususkan ketimbang yang lain. Artinya tidak akan pernah terjadi apa yang namanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan saya kira para pendiri bangsa, bisa memahami problem potensial itu yang secara filosofis-logis kontradiktif dengan keseluruhan isi falsafah yang lain dalam Pancasila.

Kalimat kedua “Syaiat Islam atau disintegrasi bangsa”, adalah sebuah ancaman pada keutuhan bangsa yang berasal dari organisasi massa, yang secara hakiki memang sudah kontradiktif dengan dasar NKRI. Saya kira tidak adalah alasan pembela dan penguat yang lain bahwa organisasi massa ini layak diajak bekerjasama. Sebuah organisasi massa tentu akan bisa membedakan urusan privat dan urusan publik. Ancaman itu bukti ketidaktahuan akan wawasan nasional dan kebangsaan, hal yang sejak dahulu sebetulnya sudah ditanamkan sejak dini, sejak di bangku SD. Makhluk asingkah mereka dari bangsa ini?

Kesimpulan

Berdasarkan analisis di atas, kita tidak boleh terjebak pada pernyataan bahwa FPI adalah organisasi massa yang sah, tanpa melihat hakikatnya. Maka jika ada ribuan organisasi massa dan itu disahkan begitu saja tanpa melihat hakikat visi-misinya, tentu saja itu juga keputusan yang kontraproduktif bagi upaya mewujudkan kesejahteraan bangsa. Alih-alih menggandeng semua elemen masyarakat, malahan menciptakan problem-problem potensial yang membahayakan NKRI sendiri.

Oleh karena itu pernyataan Mendagri agar bekerjasama dengan FPI dan alasan-alasan logis yang ingin disampaikannya, justru menjadi sesat-pikir dan tidak menyelesaikan kasus-kasus yang akan terus terjadi oleh sepak terjang FPI, karena memang tidak diselesaikan di akar masalahnya, yakni hakikat ormas sendiri. Tentu saja FPI bisa menjadi ormas yang sah dan selaras dengan NKRI, jika mengubah visi dan landasan dasarnya. Dan tentu saja tahu batas-batas wewenang sebuah organisasi massa.

Salam Kompasiana. Salam NKRI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun