Terpengaruh oleh ideologi yang diusung oleh blok barat terutama dari berhubungan dengan Presiden Amerika, Ronald Reagan, akhirnya Mikail Gorbachev memperkenalkan reformasi kepada Uni Soviet yang ekonominya sedang porak poranda karena selama puluhan tahun membiayai upaya pendirian negara komunis di berbagai negara. Reformasi ala Gorbachev ini dikenal dengan nama Glasnost dan Perestroika, yaitu liberalisasi atau keterbukaan di bidang politik dan ekonomi.
Pada awalnya reformasi Gorbachev memang menemukan tantangan, terutama ketika terjadi pemberontakan oleh kalangan militer yang ingin mempertahankan status quo, namun pemberontakan tersebut berhasil digagalkan. Selanjutnya reformasi yang dilaksanakan dengan segala niat baik tersebut justru menimbulkan disintegrasi pada Uni Soviet karena berbagai negara anggota memutuskan untuk memisahkan diri, sehingga Uni Soviet kemudian bubar dan sebagai gantinya lahirlah Federasi Rusia. Gorbachev sendiri kemudian diganti oleh Boris Yeltshin.
Sayangnya harapan bahwa reformasi, demokrasi dan liberalisasi ekonomi akan memperbaiki hidup rakyat Rusia tidak pernah tercapai, sebab delapan tahun pertama sejak reformasi dimulai perekonomian dan kehidupan rakyat justru memburuk dan semakin tidak menentu, nyaris tidak ada pertumbuhan ekonomi sama sekali. Satu-satunya keuntungan dari reformasi adalah pecahnya Uni Soviet telah mengakhiri perang dingin, dan Amerika adalah satu-satunya yang memetik keuntungan dalam hal ini.
Semua kesulitan rakyat Rusia berakhir ketika Boris Yeltshin mengundurkan diri pada tahun 2000 dan diganti oleh Vladimir Putin, yang sampai hari ini masih menjabat sebagai Presiden Rusia dan masih akan terus menjabat sampai setidaknya tahun 2018.
Kebijakan yang diambil Pemerintahan Putin sebagai mantan KGB, sangat mirip dengan kebijakan Pak Harto yang purnawirawan angkatan darat, yaitu demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dengan pendekatan keamanan. Seperti dapat diduga, kebijakan Putin ini kemudian dikecam oleh "pengamat" Barat dan media-media massa yang dikendalikan para konglomerat itu sebagai tidak demokratis, represif, diktator, rezim authoritarian, korup, hanya menguntungkan kroni, tidak akuntabel dan kecaman khas Barat lain yang membosankan karena terus diulang-ulang.
Di tengah semua kecaman itu seorang Putin tetap teguh dengan kebijakan yang menurutnya akan membawa Rusia ke arah yang lebih baik. Faktanya, inilah yang terjadi, seperti Indonesia di zaman Pak Harto, pertumbuhan ekonomi Rusia pada dua periode pertama kepemimpinan Putin dari tahun 2000 s.d. 2008 meningkat tajam, pemasukan tiap warga naik tiga kali lipat, upah meningkat lebih dari tiga kali lipat, pengangguran dan kemiskinan menurun lebih dari setengah atau 50% dan angka kepuasan hidup naik drastis. Hal ini dimungkinkan karena perekonomian Rusia terus naik selama delapan tahun berturut-turut dan GDP-pun meningkat sebesar 72%.
Walaupun kebijakan Putin yang menurut standar dan kacamata "barat" adalah tangan besi, namun kebijakan tersebut membawa manfaat bagi ratusan juta rakyat Rusia, tetapi dengan menjijikannya, para orang-orang di Barat terutama Amerika masih terus memaksakan demokrasi ala mereka untuk diberlakukan di Rusia. Bagi Amerika tidak ada masalah melihat rakyat suatu negara mati kelaparan, miskin, tidak berpendidikan, selama mereka hidup di bawah payung demokrasi. Logika gila macam apa ini?
Faktanya demokrasi, totaliter, diktator, kekaisaran, kerajaan atau apapun hanya alternatif sistem memerintah atau mengelola negara, tidak ada sistem yang dapat berlaku seperti rumus ajaib yang bisa dijalankan di semua negara sebab sekali lagi terpulang kepada setiap negara.
Bila demokrasi itu paling sempurna, mengapa minimal ada tiga negara besar melaksanakan demokrasi liberal namun justru menjadi miskin dan nyaris bangkrut, negara dimaksud adalah Indonesia era reformasi, Amerika dan Rusia sebelum Putin? Sebaliknya bila kebijakan yang dari kacamata barat dipandang sebagai totaliter dan diktator itu buruk, tetapi ternyata fondasi negara tersebut kuat dan rakyatnya hidup lebih makmur daripada ketiga negara "demokratis" di atas? Negara tersebut adalah Singapura, Malaysia, Republik Rakyat China, Rusia era Putin dan Indonesia era Pak Harto?
Yang mengesalkan adalah walaupun faktanya terbukti demokrasi tidak lebih baik daripada apa yang disebut "kediktatoran", namun Amerika selalu berusaha ikut campur urusan negara luar dan memprovokasi mereka termasuk membiayai kaum separatis negara tersebut demi menggulingkan rezim yang sedang berjalan terlepas dari apa keinginan rakyat. Dalam hal ini perbuatan Amerika tersebut sama persis dengan komunis di zaman Lenin, Stalin, Mao Tzedong yang berusaha "menyebarkan" teror dan revolusi di semua negara non-komunis, sekalipun ratusan bahkan ribuan rakyat akan terbunuh dalam prosesnya.
Pembiayaan separatis yang dilakukan Amerika dan sekutunya tersebut adalah melalui USAid, dan melalui dana USAid-lah, para pemberontak yang berkedok reformis pada tahun 1997 s.d. 1998 berhasil menjatuhkan Pak Harto dan merusak seluruh hasil pembangunan yang sudah dilakukan. Oleh karena USAid adalah kaki tangan pemerintah Amerika dalam mengacau negara-negara yang menurut pandangan mereka "tidak demokratis", tidak heran beberapa tahun lalu USAid diusir dari Rusia oleh Putin karena melakukan kegiatan spionase dan ikut campur urusan dalam negeri pemerintah Rusia.
Kondisi Indonesia yang terpuruk saat era reformasi sekarang ini adalah karena lingkaran tertentu di Indonesia, yaitu klik LBH Jakarta, yang memaksakan "demokrasi" dan paham hak asasi manusia sebagaimana dideskripsikan Eleanor Roosevelt pasca perang dunia II. Mereka adalah kanker dan tumor yang menggerogoti sel-sel sehat dalam perekonomian dan tata negara Indonesia sehingga seluruh tatanan kemasyarakatan ini sekarang dipenuhi kanker. Indonesia sakit kanker akut tapi demokratis, sekarat dan menjelang kolaps, tapi demokratis, rakyat kelaparan dan sembako tidak terbeli, tapi demokratis, pejabat negara diisi koruptor yang hanya mementingkan diri sendiri tapi demokratis, kekerasan sipil merajarela tapi demokratis, kerukunan antar umat beragama rusak, tapi demokratis, muncul raja kecil di daerah, tapi demokratis, pendidikan mahal tapi demokratis, kesehatan mahal tapi demokratis, lembaga negara korup tapi demokratis, hutang kita mencapai Rp. 3000trilyun, tapi demokratis, pers kita diberi hak memfitnah, tapi demokratis, aktivis HAM kita banyak yang menjadi agen negara asing tapi demokratis, angka kemiskinan naik tajam tapi demokratis.
Apakah kita sebodoh ini? mengorbankan semua sektor kehidupan hanya supaya dinilai demokratis oleh Barat yang hanya mementingkan kepentingan mereka? Satu kata, batalkan reformasi yang didirikan oleh para komprandor dan propagandis lokal yang digaji negara asing!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H