Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Sejarah Singkat Hoaks

30 Agustus 2021   11:24 Diperbarui: 30 Agustus 2021   11:59 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.gettyimages.com/

Asal kata hoaks dipercaya ada sejak ratusan tahun sebelumnya, yakni 'hocus' dari mantra 'hocus pocus', frasa yang kerap disebut oleh pesulap, serupa 'sim salabim'.

Hoaks dan propaganda telah menjadi fitur komunikasi manusia sejak masa Romawi (sekitar tahun 44 SM) ketika Marx Antony bertemu dengan Cleopatra. Oktavianus melakukan kampanye propaganda melawan Marx Antony yang dirancang untuk merusak reputasinya. Propaganda tersebut berbentuk slogan-slogan pendek dan tajam yang ditulis di atas koin dengan gaya Tweet kuno. Slogan-slogan ini melukis Marx Antony sebagai seorang penari dan pemabuk, yang menyiratkan bahwa dia telah menjadi boneka Cleopatra, yang telah dirusak oleh perselingkuhannya dengan dia. Akibatnya, Oktavianus menjadi Augustus, Kaisar Romawi pertama dan hoaks telah memungkinkan Oktavianus untuk meretas sistem republic.

Penemuan mesin cetak Gutenberg pada tahun 1493 secara dramatis memperkuat penyebaran hoaks. Hasilnya, hoaks terbesar sepanjang sejarah The Great Moon Hoax tahun 1835. Hoaks ini diterbitkan The New York Sun dengan enam artikel tentang penemuan kehidupan di bulan, lengkap dengan ilustrasi makhluk kelelawar humanoid dan unicorn biru berjanggut.

Berlanjut tahun 1900-an, hoaks dan propaganda dilakukan dalam Perang Dunia I, yakni propaganda dunia anti-Jerman. Pada tahun 1917, The Times dan The Daily Mail mencetak artikel yang mengklaim bahwa karena kekurangan lemak di Jerman, yang dihasilkan dari blokade angkatan laut Inggris, pasukan Jerman menggunakan mayat mereka sendiri. Tentara-tentara dimasak untuk dijadikan lemak, tepung, tulang, dan makanan babi. Hal ini berimplikasi selama Perang Dunia II, ketika laporan awal kekejaman Holocaust muncul. Hoaks yang terkandung dalam berita pada tahun 1917 tentang kekejaman Nazi yang diragukan ketika pertama kali muncul.

Hoaks pada Perang Dunia II dijelaskan Edward Herzstein (1978), dalam bukunya The War that Hitler Won (1978), menggambarkan kampanye propaganda Nazi sebagai kampanye propaganda paling terkenal dalam sejarah. Nazi membenci dan menganiaya orang-orang Yahudi dengan sangat efektif sehingga kekejaman dilakukan dengan dukungan rakyat dan penolakan Holocaust.

Lebih lanjut, dalam sejarah Indonesia hoaks dimulai pada tahun 1965 dalam Gerakan 30 S/PKI. Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi, pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat Indonesia oleh anggota angkatan bersenjata Indonesia berbuntut panjang. Kepala komando cadangan strategis militer, Jenderal Suharto, menuduh Partai Komunis melakukan upaya kudeta dan mengambil alih sebagai pemimpin de facto militer. Pada bulan-bulan berikutnya, pasukan Soeharto mengeksekusi setidaknya setengah juta orang untuk berhubungan dengan komunisme. Kediktatoran militer Suharto menjadikan propaganda anti-komunis yang sangat tidak akurat sebagai landasan legitimasi dan memerintah Indonesia dengan dukungan AS hingga 1988.

Akhirnya, di abad 21 istilah hoaks semakin banyak digunakan dan berdampak semakin luas seiring perkembangan internet. Internet banyak digunakan orang-orang untuk mengakses informasi. Seiring waktu, internet berkembang sangat tidak terbayangkan sebelumnya dengan banyaknya informasi yang datang sepanjang waktu. Internet menjadi tuan rumah bagi banyak informasi yang tidak diinginkan, tidak jujur, dan menyesatkan yang dapat dibuat oleh siapa saja.

Pada pemilu Amerika Serikat 2016, propaganda pesan anti-Clinton banyak terjadi di Facebook dan Twitter. Misalnya, kasus pelecehan seorang anak yang dipimpin oleh Hilary Clinton, dan tuduhan Clinton menjual senjata ke ISIS.  Selain itu, laporan media internasional menemukan bahwa lebih dari 100 situs web pro-Trump yang mendorong berita hoaks, dengan satu operator menghasilkan US$ 16.000 dalam tiga bulan terakhir kampanye. Konten tersebut termasuk cerita palsu yang viral tentang Paus yang mengesahkan kandidat Donald Trump dan dukungan dari calon Presiden Demokrat Hillary Clinton. Operator situs berita hoaks tersebut mendapatkan keuntungan dari mesin iklan otomatis (misalnya Google AdSense). Usut punya usut, propaganda tersebut dibuat oleh Troll Farm di Kota Vales di Bekas Republik Yugoslavia, Macedonia. Setelah selesai pemilu, Donald Trump adalah orang pertama yang mengeluarkan statemen hoaks. Ia menuduh para kritikus jurnalistiknya (termasuk CNN) menggunakan hoaks. Dua tahun kemudian, Trump memberikan "penghargaan" kepada beberapa organisasi berita besar karena menggunakan hoaks dalam melakukan kritik terhadapnya.

Pada tahun yang sama juga terjadi propaganda pada rencana Brexit. Sebuah analisis skala besar media sosial menjelang Brexit melakukan propaganda bahwa pendukung Brexit tidak hanya dua kali lipat di Instagram, tetapi lima kali lipat lebih banyak yang tersisa. Pola serupa muncul juga di Twitter. Sebuah akun asing dilaporkan telah mengirim ratusan ribu tweet pro-cuti pada hari pemungutan suara.

Beranjak ke tahun 2017, propaganda terjadi pada pilpres di Perancis. Surat kabar Inggris, The Independent melaporkan bahwa penelitian di Oxford University menemukan bahwa seperempat berita-berita politik yang dibagikan di Twitter didasarkan pada informasi yang salah. Tiga puluh tujuh organisasi berita dan mitra teknologi bekerja sama dalam sebuah inisiatif yang disebut CrossCheck untuk memverifikasi dan menyanggah berita hoaks sebelum pemungutan suara.

Sejalan dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat dan Perancis, hoaks di Indonesia juga terjadi dalam Pilpres 2014 ketika duel antara Jokowi-JK melawan Prabowo-Hatta. Kemudian kembali terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Saat itu terjadi "duel panas" kedua paslon, Ahok-Djarot dan Anies-Sandi di media sosial. Kedua pendukung menggunakan hoaks untuk mendukung jagoan politiknya tersebut. Propaganda politik Indonesia berlanjut pada pilpres 2019. Duel Jokowi-Maruf melawan Prabowo-Sandi disebut-sebut mempolarisasi dua kutub masyarakat. Kubu pendukung 01 melempar hoaks kepada kubu 02 sebagai pendukung khilafah. Sebaliknya, kubu 02 melempar hoaks melalui isu PKI dan kebocoran anggaran. Kedua kubu mencitrakan diri pada fakta alternatif yang disebut post-thruth. Artinya, kebenaran data tidak lagi didasarkan atas pertimbangan objektif, empirik dan ilmiah, namun lebih pada preferensi emosi dan media instrumennya.

Dengan demikian, hoaks sudah berlangsung lama, namun media penyebarannya berbeda. Hoaks, di zaman modern tidak bersifat langsung secara lisan atau media-media tulisan cetak melainkan menggunakan media teknologi informasi dan komunikasi yaitu media sosial. Aditiawarman, dkk, (2019), mempertegas bahwa hoaks merupakan fenomena kebahasaan yang sudah lama mencuat hingga ramai diperbincangkan publik belakangan ini. Jadi, hoaks sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi sebagai medianya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun