FPI yang dipimpin Rizieq Shihab menuntut diberlakukannya hukum Syariah di Indonesia, dan merupakan gerakan asli Indonesia, sementara HTI selain menuntut diberlakukannya hukum syariah, juga menuntut ditegakkannya kepemimpinan tunggal di seluruh dunia. Jelaslah, gerakan ini merupakan gerakan trans-nasional yang dibawa globalisasi dan merangsek masuk ke berbagai belahan dunia.Â
Lebih jauh, kedua kelompok ini telah memberikan pengaruh luas terhadap organisasi arus utama lainnya, parpol Islam, sekolah, lembaga negara, hingga universitas. Kedua kelompok ini juga menguat terutama dengan menggunakan media sosial sebagai media kampanye dan penyebaran opini.
Di pihak lain, ada kelompok nasionalis konservatif yang getol menyuarakan Pancasila sebagai hasil final sebuah perdebatan. Sayangnya, kelompok ini seringkali terlalu jumawa dan keras dalam menerapkan idenya. Masalahnya, karakter tersebut kemudian dimanfaatkan oleh elit politik untuk merebut kekuasaan dengan cara menggebuk kelompok lain yang dianggap berlawanan.
Misalnya saja dalam kasus pembubaran HTI sebagai ormas populis Islam tadi, pemerintah menggunakan instrumen UU No. 2 Ormas tahun 2017, yang oleh banyak pihak diklaim bertentangan secara prosedural.
Pelik memang disaat kelompok Muslim pluralis, dan toleran tetapi tidak terorganisir untuk dimanfaatkan dalam melawan gerakan populisme Islam yang berbahaya. Padahal kelompok ini secara kuantitatif berjumlah mayoritas di Indonesia.
Alhasil, pertentangan kedua kubu ini entah kapan akan berakhir seiring sentimen anti agama dan anti nasionalisme digaungkan oleh kedua kelompok. Meski Pilpres sudah berakhir, pertentangan ini masih terjadi di kalangan akar rumput. Dengan demikian, perlu ada politik jalan tengah dan andil besar kelompok arus utama Islam di Indonesia termasuk NU dan Muhammadiyah, hingga pemerintah.
Solusi: Mengukur Moderasi Islam
Seperti sudah disinggung sebelumnya, akar pertentangan agama dan nasionalisme di Indonesia disebabkan oleh adanya perbedaan pemahaman dalam menafsirkan nasionalisme itu sendiri. Termasuk yang seringkali dijadikan alasan oleh kelompok populis Islam, yakni penerapan nasionalisme yang dianggap tidak akan pernah bersesuaian dengan agama Islam.
Bagi mereka, nasionalisme adalah sekuler yang tujuan awalnya adalah digunakan oleh Kristen Eropa untuk menghancurkan umat Islam. Selain itu, dasar pembentukan nasionalisme yang hanya bersandar pada etnis, ras, bahasa, dan wilayah dan tidak memasukkan kategorisasi agama, juga kerap dikritik oleh para aktivis muslim. Mereka percaya bahwa inilah yang menyebabkan umat Islam tertinggal dan lemah dalam persatuan.
Jika ditelusuri, pemikiran tersebut memang identik dengan Afghani dan Abduh sebagai salah satu pemikir revolusioner Muslim. Bagi mereka, keruntuhan umat Islam memang disebabkan oleh ekspansi Eropa dan imperialisme Barat terhadap Islam, dan bukan disebabkan oleh faktor internal umat Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, dari sinilah lahir kelompok-kelompok populis yang mengadopsi pemikiran tersebut (Mugiyono, 2018).
Dalam identitas lain, kelompok-kelompok populis juga terkesan radikal dalam memahami agama, termasuk dalam menafsirkan kitab suci. HTI misalnya, mereka sangat kaku sekali dalam mengimplementasikan ajaran Islam. Termasuk mengharamkan konsep nation-state yang dituduh mengkotak-kotakan umat Islam serta menghambat persatuan umat Islam di dunia.