Skripsi merupakan tugas akhir yang mayoritas diterapkan di setiap kampus Indonesia karena kebanyakan kampus berbasis riset dalam penugasan akhir. Oleh karena itu, segala hal yang berkaitan dengan skripsi seringkali menjadi momen yang tidak terlupakan, termasuk kesulitan-kesulitan dalam proses pengerjaannya.
Semua orang tentu sepakat apabila mengerjakan skripsi bukanlah hal yang mudah, ini ditandai dengan proses riset yang mengharuskan terjun ke lokasi penelitian, mengumpulkan narasumber, mengolah, menganalisis, hingga berbentuk skripsi. Bukti lainnya, skripsi juga kerap kali mewarnai bahasan-bahasan dunia kemahasiswaan.
Bahkan, di media sosial keluhan soal skripsi, tips soal skripsi, motivasi soal skripsi, dan sejenisnya begitu berseliweran. Intinya, bahasan soal skripsi menjadi bahasan wajib mahasiswa karena skripsi sangat lumrah bagi mahasiswa.
Sayangnya, perubahan sosial pada teknologi informasi dan digital menyebabkan signifikasi dampak pada proses pembuatan skripsi. Sama dengan hal lain dalam dunia pendidikan yang juga terdampak oleh perkembangan TIK ini, pembuatan skripsi juga kerap kali dianggap tidak sesusah dulu, atau tidak sesakral dulu. Sekarang skripsi bahkan dianggap hanya sebagai formalitas semata, dan sama seperti tugas yang lainnya.
Hal tentu disebabkan banyak faktor termasuk kebermanfaatan skripsi itu sendiri. Saya pun sampai sekarang belum merasa bahwa skripsi saya betul-betul bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dalam tataran praksis, termasuk dalam tataran teoritis, tampaknya masih jauh dari penemuan teori baru. Tapi demikian, saya tetap bangga karena skripsi saya bisa membuka khazanah dan cakrawala baru seputar isu besar yang saya bahas disana. Setidaknya bagi saya, dosen, dan orang lain yang membacanya.
Kembali pada proses pengerjaan skripsi, memang kemudahan informasi menyebabkan proses pengumpulan informasi sangat mudah sekali. Termasuk dampaknya adalah membesarnya budaya copy paste (mencontek).Â
Dalam artian, copy paste di sini adalah kebiasaan non-parafrase atau kebiasaan memindahkan gagasan orang lain tanpa adanya proses peyuntingan naskah dan gagasan. Akibatnya, skripsi pun banyak menggunakan cara-cara seperti ini, hanya memindahkan karya saja, yang penting selesai. Sebagus apapun filterisasi mesin seperti turnitin atau sistem plagiasi apapun, tetap saja terkadang hal tersebut bisa saja dilewati.
Alhasil, skripsi yang dianggap penting ketika kuliah dan menjadi mahakarya terbesar dalam sejarah hidup, justru terkesan lagi tidak seperti demikian. Tidak terbayang apabila ke depan masalah ini tetap berlanjut, masalah pendidikan kita pasti akan semakin rumit, mulai dari budaya baca yang minim, kritisisme, fasilitas, guru, bahkan ditambah lagi dengan ketidakseriusan dalam pengerjaan skripsi dalam pendidikan tinggi.
Oleh karena itu, penting untuk kembali mengkaji dan memikirkan peran penting dari sebuah skripsi sebagai sumbangsih pemikiran bagi bangsa. Bukan hanya tumpukan kertas yang tiada arti, atau hanya tugas akhir yang membosankan, tetapi juga bentuk kepedulian dan aspirasi kita bagi bangsa Indonesia.
Lebih Berharga dari IPK
Mahasiswa sebagai derajat tertinggi pelajar tentu menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Alasannya tentu seseorang bisa mencapai titik akhir dalam proses pendidikan secara formal.Â
Kebanggaan lain adalah di akhir masa studi mahasiswa tidak hanya memperoleh ijazah, atau IPK, tetapi juga memperoleh kehormatan karena menyumbangkan pemikirannya dalam menjawab suatu permasalahan melalui skripsi.