Budaya hidup instan ini tidak berdiri sendiri, ada faktor lain yakni; dinamika politik global yang lebih mengedepankan emosional; pengaruh nalar postmodern yang meyakini realitas bergantung pemahaman, pengalaman, dan kepentingan; dan perkembangan teknologi digital. Kesemuanya berpengaruh pada maraknya informasi yang belum tentu kebenarannya yang terbentuk atas dasar opini atau keyakinan personal yang menyentuh kesadaran dan perasaan. Termasuk dalam informasi-informasi keagamaan yang di desain di era post-truth.
Raymond E. Miles dan Charles C. Snow menulis artikel yang berjudul Designing Strategic Human Resources Systems (2004), dan mengemukan poin penting mengapa manusia berperilaku instan, yakni: pertama, adanya artefak (alat) sebagai kemudahan dalam menciptakan suatu realitas atau pengetahuan. Kedua, hilangnya kesakralan dalam suatu proses penciptaan realitas atau pengetahuan.
Dengan demikian, kecenderungan beragama di era post-truth tidak lagi dianggap sesuatu yang sakral akan proses untuk memperoleh suatu pemahaman keagamaan mungkin saja terjadi. Banjirnya informasi termasuk pemahaman keagamaan dinilai semakin mempengaruhi perilaku instan dalam beragama.
Kini setiap orang dapat mengikuti kajian ustaz A melalui Youtube, mendengarkan pesan-pesan rohani melalui ceramah singkat di Instagram, belajar Al-Quran melalui aplikasi, dan melafalkan dalil melalui situs web.
Semuanya sangat mudah dilakukan sehingga keagungan pada proses pembelajaran dan pehamanan agama cenderung dilupakan. Seringkali proses memperoleh ilmu secara bersanad pun dianggap tidak penting lagi di era ini karena yang terpenting pesan/informasi mengenai ilmu itu sendiri yang bisa diperoleh kapanpun.Â
Walhasil, hal ini menciptakan tatanan baru dalam umat beragama di Indonesia. Pelembagaan agama secara tradisional, semisal pesantren semakin jarang diminati masyarakat dan bahkan dianggap tidak penting dan tidak modern. Â
Walaupun demikian media sosial melahirkan cara pandang baru dalam beragama yang mempermudah kebutuhan informasi keagamaan, dan mempermudah proses penyebaran dakwah keagamaan. Melalui media sosial, keshalehan umat beragama semakin cepat tersampaikan sehingga tercipta tren-tren baru semisal jilbab, hingga gerakan-gerakan sosial keagamaan baru (hijrah, sedekah, dan sejenisnya).
Namun, hal ini juga perlu disikapi secara bijak bahwa peluang-peluang adanya praktik penjerumusan ketidakbenaran atas nama agama juga sangat tinggi termasuk radikalisme dan praktik politik post-truth.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H