Tuduhan-tuduhan yang dimaksud sebetulnya berdasar pada fakta yang terjadi sebelumnya, namun sayangnya fakta tersebut difragmentarisasi (diambil sebagian) dan kemudian disangkut-pautkan dengan kejadian yang terjadi di kemudian hari. Tuduhan pada Bill Gates misalnya, bermula dari prediksi Gates tentang virus yang terjadi di kemudian hari.Â
Padahal, tidak hanya Gates, epidemiolog AS sekaligus konsultan film Contagion, Lawrence Larry Brilliant, pada 2006 silam memprediksi bahwa di masa depan akan terjadi pandemi juga.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, jika semua prediksi dijadikan teori konspirasi, lantas bagaimana dengan Singapura pada tahun 2003 silam yang telah membangun banyak sekali pusat kesehatan oleh akibat adanya virus Sars sehingga negara tersebut belajar dan memprediksi akan terjadi wabah di kemudian hari, apakah hal tersebut bukan sebuah prediksi? Bahkan hal ini akhirnya terbukti dan negara tersebut sangat siap menghadapi pandemi saat ini.
Walau demikian, kepanikan dan kebingungan yang dihadapi masyarakat oleh sebab banjirnya informasi sehingga mengkonsumsi teori konspirasi mungkin saja menjadi obat ampuh.Â
Namun, pelbagai kelemahan yang ada dalam teori konspirasi sudah selayaknya bagi kita untuk lebih realistis dan rasional dalam menyikapi persoalan global ini.Â
Otomatis hal ini memerlulan banyak sekali perspektif baik sains, agama, ekonomi, politik, hingga sosiologi untuk referensi berpikir dalam bertindak dan mengambil keputusan. Jangan sampai kita terus-menerus dilumuri dengan hoaks, atau pseudoscience lainnya.
Walhasil, berbagai macam perspektif tersebut akan menyeimbangkan sudut pandang sekalipun di tengah menjamurnya pemahaman dan informasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H