Ditengah hiruk pikuk penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pandemi Corona, publik dikejutkan dengan tantangan seorang ekonom muda Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, terhadap Staf Khusus (stafsus) milenial Presiden Jokowi, Belva Devara, untuk debat terbuka terkait Kartu Prakerja, konflik kepentingan, oligarki milenial serta permasalahan lain ditengah pandemi Covid-19 di media sosial Instragramnya. Hal ini tentu menjadi penanda baru bangkitnya pertarungan gagasan pada tokoh-tokoh milenial.
Nama Bhima Yudhistira mencuat ke khalayak publik setelah invitasi terbuka kepada stafsus Presiden, Belva Devara beberapa hari lalu. Sebelumnya, publik tidak begitu akrab dengan sosok milenial yang juga seorang ekonom muda pusat inovasi dan ekonomi digital INDEF ini.Â
Sementara, nama Belva Devara sudah dikenal publik ketika dipilih menjadi salah seorang dari ketujuh Staf Khusus (Stafsus) milenial Presiden Jokowi. Ia juga merupakan CEO aplikasi belajar kenamaan Indonesia Ruangguru.
Namun, terdapat kesamaan antar keduanya yakni pernah memperoleh beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Bhima merupakan peraih Master dari University of Bradfod, Inggris, sementara Belva menyelesaikan gelar ganda dari Stanford dan Harvard University, Amerika Serikat.
Konteks debat yang diangkat mengenai Kartu Prakerja merupakan buntut dari kortroversinya Ruangguru sebagai mitra penyelenggara pelatihan online Kartu Prakerja yang merupakan milik Belva sendiri. Sebagai figur di lingkaran istana, hal ini dinilai posisinya berpotensi memicu konflik kepentingan.
Konteks debat ini dinilai banyak pihak sangat relevan dengan latar belakang keilmuan dan pengalaman masing-masing. Adu gengsi alumni perguruan tinggi terkemuka juga menjadikan debat ini dinilai banyak menarik antusias masyarakat luas sebagai debat intelektualitas milenial.
Namun, sampai saat ini Belva sendiri masih bergeming atas invitasi tersebut, padahal debat ini dinilai positif bagi kemajuan bangsa Indonesia, khususnya sebagai ajang percontohan bagi kaum milenial. Milenial sendiri identik dengan pembelajaran yang berorientasi pada tujuan-tujuan konkret, serta manfaat yang terasa bagi khalayak luas.
Oleh karena itu, jika debat tersebut terjadi maka relevan dengan tahap kemajuan bangsa agar tercipta diskursus konstuktif bangsa, khususnya bersinggungan dengan kebijakan dan pemerintahan secara langsung.
Lantas, mengapa Belva tidak menanggapi undangan debat tersebut? Mungkinkah ada andil senioritas klasik dalam tubuh pemerintah sehingga menghambat upaya Belva?
Terganjal Senioritas?
Seorang Belva yang merupakan lulusan terkemuka kampus dunia serta merupakan milenial inovatif dengan menciptakan flatform belajar terbaik sulit jika disebut mangkir atau menolak ketika diajak debat oleh sesama milenial. Tak ubahnya sebagai seorang pemuda sukses dengan prestasi cemerlang, Belva akhirnya  menjadi teman diskusi Presiden Jokowi hingga saat ini.
Publik pun menaruh ekspektasi tinggi akan harapan perbaikan bangsa yang dialamatkan kepadanya, namun saat ini justru sebaliknya, publik dibuat ragu akan ekspektasi tersebut. Ini bukan tanpa alasan, rangkapnya jabatan di perusahaan dan di istana disinyalir akan mengundang konflik kepentingan.
Namun dibalik itu semua terdapat fakta mengenai senioritas dalam pemerintahan. Hal ini diungkap oleh Ronald Brownstein dalam "The Gray and the Brown: The Generational Mismatch", bahwa tantangan milenial dalam pemerintahan adalah protokol klasik kekuasaan.
Artinya, kelompok senior dalam pemerintahan masih setengah hati memandang pemuda dan melibatkannya dalam pemerintahan. Pemuda yang dianggap belum kenyang pengalaman dinilai belum vokal menguasai komprehensifnya isu di masyarakat.
Pandangan Brownstein tersebut tampaknya relevan dengan apa yang dialami Belva, bagaimana kita menyaksikan tradisi elit masih menguasai kekuasaan yang melegenda. Dampaknya, seseorang yang masuk kekuasaan tanpa bermodalkan keelitan, maka akan tetap dipandang minor dan minim peran.
Hal senada diungkap sosiolog---Amerika Serikat, Charles Wright Mills dalam bukunya The Power Elit. Mills menyebut bahwa kaum elit akan berusaha mempertahankan keelitannya dengan pemeliharaan yang ketat. Mereka akan memfilter siapa saja yang masuk kelompok elit dengan modal keelitan sebelumnya. Dalam artian, jika seorang politisi, pengusaha, atau mantan militer yang direkrut ke dalam pemerintahan sudah barang tentu memiliki modal pengalaman politik sebelumnya.
Oleh karena itu, meski Belva sudah menjadi elit, namun masih dianggap 'anak kemarin sore' yang masih belum pas dianggap elit karena belum malang melintang dalam perpolitikan nasional. Perlu waktu yang cukup bagi Belva jika ingin menjadi elit yang sesungguhnya yang tidak cukup mengandalkan kesuksesan pada bisnis.
Meski demikian, klarifikasi yang diberikan Belva juga masih dianggap normatif dan dianggap tidak menjawab persoalan. Sehingga apa yang dilakukan Bhima sudah barang tentu ingin menjadi sukarela yang membantu masyarakat akibat adanya anggapan kongkalingkong pemerintah dengan swasta tentang polemik Kartu Prakerja. Selian itu, adanya keinginan untuk mendobrak karakteristik senioritas menjadi prioritas Bhima agar adanya perubahan revolusioner di tubuh pemerintahan.
Terlepas dari ada atau tidaknya konflik kepentingan dalam Kartu Prakreja yang melibatkan Belva, bagaimanapun tradisi klasik senioritas harusnya disadari serius kaum elit pemerintahan karena kontribusi kaum muda mesti dikedepankan di era yang semakin berkembang.
Terbukti, beberapa kaum muda juga berkontribusi besar dalam lingkup pemerintahan jika diberikan kesempatan berkembang. Namun, penting juga untuk memberikan modal kejujuran untuk milenial melalui kebijakan-kebijakan untuk masyarakat melalui peran para boomer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H