Seorang Belva yang merupakan lulusan terkemuka kampus dunia serta merupakan milenial inovatif dengan menciptakan flatform belajar terbaik sulit jika disebut mangkir atau menolak ketika diajak debat oleh sesama milenial. Tak ubahnya sebagai seorang pemuda sukses dengan prestasi cemerlang, Belva akhirnya  menjadi teman diskusi Presiden Jokowi hingga saat ini.
Publik pun menaruh ekspektasi tinggi akan harapan perbaikan bangsa yang dialamatkan kepadanya, namun saat ini justru sebaliknya, publik dibuat ragu akan ekspektasi tersebut. Ini bukan tanpa alasan, rangkapnya jabatan di perusahaan dan di istana disinyalir akan mengundang konflik kepentingan.
Namun dibalik itu semua terdapat fakta mengenai senioritas dalam pemerintahan. Hal ini diungkap oleh Ronald Brownstein dalam "The Gray and the Brown: The Generational Mismatch", bahwa tantangan milenial dalam pemerintahan adalah protokol klasik kekuasaan.
Artinya, kelompok senior dalam pemerintahan masih setengah hati memandang pemuda dan melibatkannya dalam pemerintahan. Pemuda yang dianggap belum kenyang pengalaman dinilai belum vokal menguasai komprehensifnya isu di masyarakat.
Pandangan Brownstein tersebut tampaknya relevan dengan apa yang dialami Belva, bagaimana kita menyaksikan tradisi elit masih menguasai kekuasaan yang melegenda. Dampaknya, seseorang yang masuk kekuasaan tanpa bermodalkan keelitan, maka akan tetap dipandang minor dan minim peran.
Hal senada diungkap sosiolog---Amerika Serikat, Charles Wright Mills dalam bukunya The Power Elit. Mills menyebut bahwa kaum elit akan berusaha mempertahankan keelitannya dengan pemeliharaan yang ketat. Mereka akan memfilter siapa saja yang masuk kelompok elit dengan modal keelitan sebelumnya. Dalam artian, jika seorang politisi, pengusaha, atau mantan militer yang direkrut ke dalam pemerintahan sudah barang tentu memiliki modal pengalaman politik sebelumnya.
Oleh karena itu, meski Belva sudah menjadi elit, namun masih dianggap 'anak kemarin sore' yang masih belum pas dianggap elit karena belum malang melintang dalam perpolitikan nasional. Perlu waktu yang cukup bagi Belva jika ingin menjadi elit yang sesungguhnya yang tidak cukup mengandalkan kesuksesan pada bisnis.
Meski demikian, klarifikasi yang diberikan Belva juga masih dianggap normatif dan dianggap tidak menjawab persoalan. Sehingga apa yang dilakukan Bhima sudah barang tentu ingin menjadi sukarela yang membantu masyarakat akibat adanya anggapan kongkalingkong pemerintah dengan swasta tentang polemik Kartu Prakerja. Selian itu, adanya keinginan untuk mendobrak karakteristik senioritas menjadi prioritas Bhima agar adanya perubahan revolusioner di tubuh pemerintahan.
Terlepas dari ada atau tidaknya konflik kepentingan dalam Kartu Prakreja yang melibatkan Belva, bagaimanapun tradisi klasik senioritas harusnya disadari serius kaum elit pemerintahan karena kontribusi kaum muda mesti dikedepankan di era yang semakin berkembang.
Terbukti, beberapa kaum muda juga berkontribusi besar dalam lingkup pemerintahan jika diberikan kesempatan berkembang. Namun, penting juga untuk memberikan modal kejujuran untuk milenial melalui kebijakan-kebijakan untuk masyarakat melalui peran para boomer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H