Tidak ada yang menyangka bahwa mudik tahun ini bagi masyarakat Indonesia tampaknya batal dilakukan. Hal ini buntut masih mewabahnya Covid-19 khususnya di kota-kota besar terdampak semisal Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, Tanggerang, dan Bandung. Belum lagi kota-kota besar lainnya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta. Himbauan larangan mudik dikeluarkan pemerintah baik pusat maupun daerah, plus kepolisian untuk memutus rantai penyebaran virus Corona jenis baru ini.
Hal tersebut bukan tanpa alasan, di Cianjur, Jawa Barat tepatnya di Kecamatan Karangtengah misalnya, diketahui terdapat satu keluarga yang terindikasi positif Covid-19 seteah mudik dari Jakarta. Keluarga tersebut terdiri dari satu ibu dan dua orang anaknya. Lebih lanjut, hal ini juga terjadi di Ciamis, Jawa Barat diduga seorang anak menularkan Covid-19 kepada orangtuanya seketika kepulangannya dari Jakarta.Â
Mudik memang berpotensi menimbulkan kerumunan banyak orang yang dikhawatirkan menjadi lahan empuk penyebaran Covid-19, baik dalam sarana transfortasi, terminal, maupun bandara atau pelabuhan. Jika mudik terjadi, maka pemutusan rantai wabah semakin sulit dilakukan. Ditambah beberapa penelitian yang menyebut bahwa jika mudik dilakukan maka puncak pandemi ini akan semakin bertambah.
Namun demikian, hal ini menjadi dilema tersendiri dimana mudik merupakan tradisi masyarakat Indonesia yang sifatnya wajib dilakukan. Bukan tanpa alasan, mudik identik dilakukan dengan tujuan mempersatukan pertemuan keluarga secara praktis, efisien, dan waktu tepat. Selain itu, pekerjaan yang padat di wilayah perkotaan dimanfaatkan dengan rekreasi keluarga dalam balutan hari raya Idul Fitri. Artinya, momentum lebaran adalah momentum satu-satunya untuk melepas kerinduan, silaturahim, yang dibingkai kesakralan hari raya bagi orang Indonesia khususnya Muslim.
Oleh karena itu, ditengah pandemi Covid-19 yang diprediksi puncaknya pada Mei dan bertepatan dengan mudik, akankah menghalangi niat mudik warga perkotaan di wilayah darurat Covid-19?
Fenomena Mudik
Vissia I. Yulianto---peneliti dan pengajar di Universitas Gadjah Mada dalam karyanya Is the Past in Another Country? A Case Study of Rural-Urban Affinity on Mudik Lebaran in Middle Java dalam Utrecht University Repository menyebut mudik adalah budaya Indonesia dengan penekanan migrasi regional dan interaksi desa-kota yang menunjukkan bahwa orang Indonesia secara efektif terlibat dalam kehidupan pedesaan dan perkotaan mereka.
Artinya, mudik adalah budaya penduduk Indonesia dimana terjadi perpindahan penduduk sementara dari kota ke desa sehingga menunjukkan bahwa keterkaitan kehidupan di perkotaan dan pedesaan dijalani dengan baik. Keterkaitan kehidupan di kota dan desa menekankan pada memori kehidupan sebelumnya, yakni di desa. Hal ini juga menunjukkan bahwa urbanisasi erat dilakukan masyarakat Indonesia.
Dalam pepatah Sunda dikenal "Jauh dijugjug anggang diteang". Artinya biarpun jauh tetap ditemui, jarak bukanlah persoalan. Hal ini bisa menggambarkan keharusan mudik ke kampung halaman, meski kondisi yang tidak memungkinkan dalam ekonomi, jarak, dan persoalan lain mudik kerapkali ditempuh masyarakat yang tinggal di kota.
Menurut Gumilar R. Soemantri dari Universitas Indonesia dalam artikelnya berjudul Kajian Sosiologis Fenomena Mudik, menyatakan bahwa mudik adalah liburan massal warga kota-kota besar di daerah asalnya (desa atau kota-kota yang lebih kecil) yang biasanya dilakukan menjelang Idul Fitri.
Hal ini bisa dibuktikan dengan lowongnya mobilitas kota. Kala musim mudik terjadi, jalanan lenggang, pusat pendidikan, ekonomi, hiburan juga sepi dari aktivitas warga. Tahun 2019 lalu misalnya, banyak warga yang berfoto di tengah jalanan protokol di Jakarta. Begitupun kemacetan dan kecelakaan lalu lintas menurun drastis di kota yang ditinggal mudik penghuninya.