Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Polemik Penghapusan Skripsi dan Kemudahan Teknologi

10 April 2020   10:46 Diperbarui: 10 April 2020   10:55 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Baru-baru ini terjadi polemik penghapusan skripsi di Indonesia melalui petisi yang di inisiasi oleh Fachrul Adam dalam Change.org. Per Minggu (5/4/2020) sudah ada 50.029 orang yang menandatangani petisi tersebut.

Polemik ini adalah buntut situasi pandemik Covid -19 yang berdampak pada penelitian skripsi mahasiswa tingkat akhir. Selain itu, polemik ini ditambah tidak efektifnya bimbingan online, termasuk kegiatan observasi lapangan yang terhambat.

Meski demikian, Kemendikbud telah mengeluarkan ketentuan terkait penyelenggaraan program pendidikan di perguruan tinggi, salah satunya mengenai penelitian tugas akhir yang mengharuskan pengaturan metode maupun jadwalnya yang disesuaikan dengan status dan kondisi setempat.

Lebih jauh, sebagai salah satu kewajiban mahasiswa, skripsi bak ibarat karya untuk sumbangsih keilmuan dan solusi praktis masyarakat. Selain itu, sebagai laporan penelitian ilmiah skripsi dirasa penting bagi perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitas mahasiswa karena tidak dapat dipungkiri terdapat pula perguruan tinggi yang tidak mewajibkan skripsi sebagai tugas akhir.

Selain skripsi, penelitian-penelitian ilmiah juga bisa dilakukan mahasiswa semisal jurnal ilmiah, artikel, prosiding, dan sejenisnya.

Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa disaat kondisi pandemi seperti sekarang, skripsi seolah tidak bisa dikerjakan mahasiswa? Lalu, bagaimana solusi polemik tersebut?

Kampus dan Budaya Riset Ilmiah 

Kampus sebagai institusi pendidikan sudah seyogyanya mengajarkan akan pentingnya riset ilmiah. Meski demikian, upaya-upaya tersebut terganjal kendala internal maupun eksternal, apalagi dihadapkan pada era teknologi yang memudahkan memperoleh informasi dan data sebagai dasar riset ilmiah.

Menurut Feuer, Towne, dan Shavelson dalam Scientific Culture and Educational Research pada American Educational Research Association, menjelaskan pentingnya budaya riset ilmiah bagi institusi pendidikan adalah pemeliharaan dan penguatan budaya ilmiah pendidikan.

Ada empat faktor penentu pembangunan budaya riset ilmiah dalam institusi pendidikan:

Pertama, sumber daya manusia. Manusia disini berati kesadaran akan budaya ilmiah pada setiap individu dalam kampus. Termasuk di dalamnya penumbuhan praktik ilmiah dalam upaya penelitian kolaboratif dengan lembaga lain untuk mendorong interaksi dan pembelajaran indisipliner.

Kedua, aturan. Adanya peraturan yang baik dalam sebuah institusi pendidikan mengenai budaya riset ilmiah akan mendorong mahasiswa untuk berbudaya ilmiah dalam riset pembelajaran. Aturan tersebut melingkupi mekanisme peninjauan riset-riset ilmiah hasil mahasiswa secara serius sebagai inventarisasi pengetahuan, perluasan batas-batas ilmu pengetahuan, dan identifikasi kesenjangan pengetahuan untuk meletakkan dasar penyelidikan di masa depan.

Ketiga, insulasi politik. Sebuah institusi pendidikan harus menyekat kepentingan pendidikan dan politik. Bagaimana pun riset ilmiah harus dipisahkan dari kepentingan politik dengan berorientasi pada pengetahuan bukan kepentingan kelompok. Artinya, penumbuhan budaya ilmiah, perlindungan proses ilmiah, dan pencegahan mengorbankan penelitian untuk gairah kebijakan politik praktis harus dihindari.

Keempat, infrastruktur. Infrastruktur yang menunjang akan berdampak pada kualitas dan promosi riset-riset ilmiah sebuah lembaga pendidikan. Hal ini harus didukung oleh ketersediaan dana yang mencukupi berbagai kebijakan yang mendukung budaya riset ilmiah.

Kemudahan Teknologi 

Berkaca pada fakta yang terjadi saat ini ditengah pandemi virus corona, sebuah penelitian sebagai budaya ilmiah hendaknya tidak dilakukan di lapangan secara langsung. Namun, bagi mahasiswa terdapat beberapa alternatif solusi khususnya pemanfaatan dunia teknologi dan informasi.

Mahasiswa sebagai penduduk asli digital menggunakan teknologi sebagai bagain dari kehidupan nyata secara virtual. Alasannya, sebagai generasi milenial mahasiswa kini sulit dipisahkan dari budaya teknologi dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Margaryan, Littlejohn dan Vojt dalam Are digital natives a myth or reality? University students' use of digital technologies pada Elsevier Journal, menyebut teknologi bagi mahasiswa dapat digunakan untuk alat kreasi pengetahuan kolaboratif, pemanfaatan dunia virtual, dan jejaring sosial dalam pembelajaran.

Jika saat ini pembelajaran dialihkan pada dunia virtual melalui pemanfaatan teknologi jarak jauh, maka tidak ada salahnya penelitian skripsi juga bisa dilakukan melalui teknologi virtual. Salah satu metode yang bisa digunakan mahasiswa adalah netnografi (virtual etnography). 

Menurut Kozinets, dalam bukunya Netnography, penelitian netnografi dapat digunakan melalui objek online communities dan communities online. Online communities merupakan komunitas yang terbentuk di dunia virtual karena adanya kesamaan ketertarikan misalnya komunitas fans artis, sementara communities online adalah komunitas yang bertransformasi dari dunia nyata ke dunia virtual misalnya merujuk pada kelompok masyarakat di dunia nyata yang ditunjang penggunaan media sosial di dunia virtual.  

Hal ini menunjukkan bahwa teknologi memudahkan aktivitas belajar mahasiswa. Meski dapat merugikan karena adanya budaya plagiarisme dan copy paste. Namun, kekuatan faktor eksternal sangat dibutuhkan dalam era ini untuk mengantisipasi sisi negatif kebiasaan tersebut.

Dengan demikian, bagi kampus sebagai institusi pendidikan ini menjadi keuntungan tersendiri, disamping perlu penguatan elemen-elemen pendorong penguatan budaya riset ilmiah seperti SDM, aturan, dan insfrastruktur. Sumber daya manusia yang berkualitas dalam kampus khususnya kemampuan penguasaan teknologi harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi saat ini. 

Aturan yang menunjang pengembangan riset ilmiah kampus juga harus terus di dorong dengan kebijakan-kebijakan yang menyesuaikan budaya digital, seringkali metode-metode riset yang diajarkan kampus hanya berpusat pada penelitian konvensional (khususnya bagi ilmu sosial), tanpa memperkenalkan metode virtual. Sedangkan, insfrasturuktur dapat berupa peralatan maupun tata cara atau strategi penggunaan media-media teknologi baru pendukung riset ilmiah bagi mahasiswa.

Kedepan, perkembangan teknologi acap kali terus mengalami perkembangan, begitupun dengan mindset dan faktor lain yang menunjang budaya riset ilmiah bagi manusia. Ditengah ketidakpastian virus corona kapan berakhir, semestinya mahasiswa tidak menyerah dengan beban skripsi atau tugas ilmiah lainnya, barangkali ketidaksiapan kita menghadapi hal ihwal kejadian seperti sekarang menjadi penyebabnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun