Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012), dan Rempah Rindu Soto Ibu (Taresia, 2024). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Timun Cemas

12 Januari 2025   20:03 Diperbarui: 12 Januari 2025   20:03 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang anak yang sedang cemas. (Sumber: pixabay.com)

Timun cemas meninggalkan negeri dongeng, melarikan diri ke dunia maya. Nasib perih dan pahit cerita menjelma raksasa yang siap menelannya.

Puluhan tahun, raksasa itu menahan lapar, kisah ibunya dengan linangan airmata. Ada janji yang harus ditunaikan, ada kehidupan yang semestinya dipertahankan.

Hiruk pikuk dunia maya akan menyelamatkannya dari kejaran raksasa. Ia bisa segesit rusa berlari di layar datar, raksasa yang memburu hanya akan mendapat kabar burung belang kaki.

Namun kenyataan kadang tak seindah impian, sang raksasa terus mengejarnya dengan penuh keberingasan. Ia pun menggantungkan harapan pada empat kantong bekal pemberian seorang pertapa di tepi hutan.

Ia berlari sambil menebar sekantong bebijian, tangan-tangan lain melakukan hal yang sama, menumbuhkan belukar kata yang tak terasa melukai kaki dan tangan percakapan.

Ia berlari seraya menyebar jarum-jarum tajam, jari-jemari entah siapa menyebarkan benda serupa, kata-kata perlahan meruncingkan perdebatan.

Ia berlari sembari menebar butiran-butiran garam, tangan-tangan lain mengikuti tindakannya, menjelmalah lautan keriuhan yang lambat laun menenggelamkan kesadaran dan kewarasan.

Ia berlari sekalian melempar bongkahan terasi, jari-jemari entah siapa mengikuti jejaknya, bermunculan lubang-lubang hitam yang membuat tubuh-tubuh limbung jatuh kehilangan kepercayaan.

Ia berlari dan terus berlari, tanpa kehendak untuk sejenak menepi, tanpa menyadari raksasa yang mengejarnya telah menguasai jiwa dan merasuki hati.

Depok, 22 Juli 2023

*Puisi ini terinspirasi dari dongeng Timun Emas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun