Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

KRL Commuter Line, Teman Perjalanan yang Andal Menyibak Kemacetan

4 September 2023   09:46 Diperbarui: 4 September 2023   09:49 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KRL Commuter Line (Foto Setiyo)

"Mau ikut naik mobil nggak sampai Margonda?"

Saat pulang kerja kadang ada saja tawaran dari teman yang mencoba menggoyahkan keyakinanku sebagai seorang roker, sebutan untuk pengguna Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line. Namun, aku berusaha untuk setia dan tidak pindah ke lain hati.

Pulang kerja dari wilayah Jakarta ke arah Depok sambil duduk manis di atas mobil yang adem memang menyenangkan. Namun membayangkan harus berjibaku di atas mobil yang menyibak kemacetan di ibukota membuatku kembali ke selera asal: menggunakan KRL Commuter Line.

Akupun lebih sering menolak ajakan teman untuk ikut pulang naik mobil. Kalaupun ikut mobilnya, biasanya aku nebeng hingga stasiun KRL terdekat. Namun, sekali dua kali, aku ikut nebeng mobil teman untuk membandingkan waktu dan kenyamanan antara naik mobil atau KRL Commuter Line. Kesimpulannya naik KRL Commuter tetap pilihan cerdas.

Sebagai pengguna KRL sejak tahun 2004, aku sudah mengalami pahit manis dan berbagai dinamika menggunakan transportasi massal ini. Berbagai masa telah kualami mulai dari naik KRL Ekonomi, KRL Ekonomi AC, hingga KRL Commuter Line seperti sekarang ini.

Operator KRL juga mengalami perubahan. Awalnya KRL dioperasikan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Jabotabek. Pada 15 September 2008, KAI membentuk anak perusahaan bernama PT Kereta Commuter Line Jabodetabek (KCJ). Karena cakupan layanannya semakin luas, tak hanya Jabodetabek, KCJ berubah menjadi Kereta Commuter Indonesia atau KAI Commuter pada 2017.

Jadi aku termasuk salah satu saksi hidup dari jutaan orang yang pernah merasakan sesak dan pengapnya KRL Ekonomi hingga perlahan bertransformasi menjadi moda transportasi yang andal, murah, cepat, aman dan nyaman. Kini, KRL Commuter bisa menjadi pilihan cerdas bahkan gaya hidup generasi urban.

Pulang kerja dari Jl. MH Thamrin, Jakarta menuju Stasiun Gondangdia sejauh kurang lebih 2 km lebih sering aku tempuh dengan jalan kaki. Trotoar yang aku lewati lambat laun berubah menjadi makin lebar, asri, dan ramah pejalan kaki.

Jika kondisi sedang lelah, aku bisa menggunakan Bus Trans Jakarta jurusan Stasiun Tanah Abang -- Stasiun Gondangdia. Angkutan umum di Jabodetabek memang sudah berbenah menjadi lebih terintegrasi. Jika sedang ada promo, aku bisa memesan ojek online. Intinya, "Banyak cara menuju stasiun kereta."

Sekitar 15 menit jalan kaki, Stasiun Gondangdia menyambut langkah. Aku sentuhkan Kartu Multi Trip  (KMT) untuk membuka gate. Kita juga bisa memakai Kartu Uang Elektronik (KUE) dari perbankan. Jangan lupa pastikan saldo mencukupi.

Transformasi digital atau digitalisasi memang memudahkan banyak hal. Dulu, penumpang KRL harus antri ke loket untuk beli karcis kertas. Jika tak mau antri, penumpang bisa memakai Kartu Trayek Bulanan (KTB). Seiring waktu tiket kertas berubah menjadi Tiket Harian Berjaminan (THB) hingga KMT.

Sesampainya di peron stasiun, kita bisa mengetahui posisi KRL Commuter melalui papan pengumuman. Announcer juga rajin memberitahukan posisi kereta melalui speaker yang terdengar di sekujur peron. Kita juga bisa mengeceknya melalui aplikasi KRL-Access yang kini disempurnakan menjadi C-Access.

Jadi di era digital, ada banyak cara untuk mengetahui posisi KRL Commuter, sehingga kita bisa lebih tenang merencanakan perjalanan. Aku jadi ingat, dulu ada cara unik untuk mengetahui posisi KRL Ekonomi yaitu dengan melihat goyangan kabel listrik aliran atas (LAA). Jika kabel diam saja berarti KRL masih jauh, kalau mulai bergoyang berarti KRL makin dekat. Untung saja tidak memakai cara ala Suku Indian dengan menempelkan telinga di rel kereta.

Selain makin informatif, kondisi peron stasiun kereta saat ini juga bersih, rapi dan nyaman untuk menunggu KRL Commuter. Sambil ngecas handphone juga bisa. Dulu di peron stasiun, penumpang kereta harus berbagi tempat dengan lapak-lapak pedagang yang menjual aneka barang. Mulai dari penjual gorengan, pecel, pulsa, buah-buahan, alat kebutuhan rumah tangga, dan lain-lain.

Kondiri KRL yang makin nyaman dan jadwalnya makin teratur ternyata juga mengubah perilaku penumpang. Saat KRL Commuter berhenti di peron, penumpang mulai mengerti dan bersabar untuk menunggu penumpang lain turun. Ternyata kemajuan teknologi informasi juga bisa mengubah perilaku orang sehingga terbiasa mengantri.

Tak seperti dulu, saat KRL Ekonomi belum sempurna menghentikan lajunya, penumpang sudah berebut merangsek masuk. Tak terbayangkan betapa gaduhnya suasana. Di dalam KRL Ekonomi, selain harus berdesak-desakan dengan penumpang lain, kita juga harus berbagi tempat dengan pedagang asongan yang menjajakan aneka barang. Tak terbayangkan betapa sesaknya.

Dulu sebelum berebut naik kereta, aku dan mungkin juga penumpang KRL lainnya punya ritual khusus sebelum naik kereta. Aku selalu memastikan kalau dompet di saku belakang celana sudah kuamankan di dalam tas punggung yang kudekap di dada. Begitu juga dengan telepon genggam. Sebab saat berdesakan, ada saja tangan-tangan yang mencari dan mencuri kesempatan.

Ritual itu sudah lama kutinggalkan. Aku baru menyadari bahwa dompet di saku celana tidak kupindahkan ke dalam tas. Handphone masih ada dalam genggaman saat naik ke dalam KRL Commuter. 

Salah satu ciri khas penumpang KRL yang masih ada melekat yaitu tas punggung yang kuletakkan di dada. Nampaknya ini salah satu indikasi bahwa KRL Commuter memang semakin aman dan nyaman. Meskipun begitu kita harus selalu waspada dan menjaga barang bawaan kita.

Saat berada di dalam KRL Commuter, meskipun tidak mendapat tempat duduk, tapi suasana adem dan cukup nyaman. Aku biasanya memanfaatkan waktu selama di KRL untuk menyelesaikan beberapa catatan tugas atau menulis puisi melalui telepon genggam.

Kadang aku juga asyik menatap ke luar kereta, menatap kendaraan-kendaraan yang bermacet ria di jalan raya. Jika malam hari, jalan raya di ibukota dan sekitarnya pasti seperti sungai cahaya, sementara kereta laksana ular besi yang cepat dan tangkas membelah kemacetan. 

Sebenarnya ada banyak kisah dan pengalaman naik KRL Commuter yang ingin aku ceritakan. Tapi pasti akan sepanjang jalur kereta yang terus berkembang dan bertambah. KRL Commuter bagiku bukan sekedar teman perjalanan yang andal menyibak kemacetan, tapi juga catatan kisah kebersamaan yang tak terlupakan.

Kisah-kisah tersebut aku abadikan dalam buku kumpulan puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012), dan novel Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Moda transportasi massal berbasis kereta memang mengalami kemajuan cukup pesat. Beberapa waktu lalu, Presiden Joko widodo meresmikan LRT Jabodebek yang terintegrasi dengan KRL Commuter. Keberadaannya LRT Jabodebek bisa menjadi teman yang melengkapi moda transportasi massal lainnya seperti MRT, Trans Jakarta, Jaklingko, dan lain-lain.

Kehadiran transportasi massal ini bisa mengurangi kecemasan bumi yang sedang diterpa ketidakpastian cuaca akibat perubahan iklim. Beberapa hari terakhir misalnya, Indonesia khususnya Jabotabek harus menghadapi masalah kualitas udara yang makin memburuk. Salah satu penyebabnya yaitu kendaraan bermotor yang tak henti-henti mengasapi udara.

Saat ini, kondisi transportasi massal seperti KRL Commuter semakin aman dan nyaman, tarifnya terbilang murah, dan bisa melaju cepat menghindari kemacetan. Transportasi massal juga lebih ramah lingkungan sehingga bisa membantu menjaga nafas bumi yang mulai sesak didera polusi.

Jadi jangan ragu untuk beralih dari kendaraan pribadi dan mencoba tansportasi massal yang makin banyak pilihannya. Jadikan Commuter sebagai gaya hidup generasi urban.

Cikini ke Gondangdia

Aku di sini menunggu kereta

Cikampek ke Tasikmalaya

Macet bikin capek, naik Commuter saja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun