Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Korban Pelecehan Seksual di Transportasi Publik Harus Berani Bersuara

22 Desember 2022   23:14 Diperbarui: 22 Desember 2022   23:18 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosialisasi Anti Pelecehan Seksual di Transportasi Publik di Stasiun BNI City pada Kamis, 22 Desember 2022 (Foto Setiyo)

Kita sering mendengar terjadinya pelecehan seksual di transportasi publik seperti kereta rel listrik (KRL) Commuter Line. Namun, korban pelecehan seksual kadang tidak berani untuk bersuara atau mengadu.

Untuk mendorong agar pengguna KRL Commuter Line untuk berani mengadu jika terjadi pelecehan seksual, KAI Commuter menggelar Sosialisasi Anti Pelecehan Seksual di Transportasi Publik, Stasiun BNI City pada Kamis, 22 Desember 2022.

Ditingkahi suara kereta yang melaju di lantai dasar, saya mencoba menyimak penjelasan dari narasumber diskusi yang menarik ini. Bahrul Fuad dari Komnas Perempuan menyampaikan bahwa pelecehan seksual merupakan persoalan serius.

Karena itu Komnas Perempuan terus melakukan edukasi kepada masyarakat, salah satunya dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Misalnya kampanye dan edukasi melalui pengumuman di dalam kereta. Bahkan PT KAI memberlakukan blacklist kepada pelaku pelecehan seksual sehingga tidak bisa lagi naik kereta api.

Kajian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa salah satu faktor terjadinya pelecehan seksual adalah korban tidak memahami bahwa ia sedang mengalami kekerasan atau pelecehan seksual. Kedua, korban juga seringkali tidak berani untuk bersuara atau mengadu karena takut.

"Ketiga, biasanya di tempat-tempat umum tidak ada tempat bagi masyarakat atau korban untuk bisa langsung mengadu," terang Bahrul.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh orang yang mengalami pelecehan seksual? Menurut Bahrul, korban harus berani menegur pelaku pelecehan seksual. Sementara orang lain yang berada di sekitar korban bisa mengalihkan perhatian pelaku.

Bahrul mencontohkan, Ketika melihat ada perempuan mengalami pelecehan seksual, kita bisa mendekatinya dan pura-pura bertanya sesuatu pada perempuan tersebut. Misalnya, "Kalau mau ke tempat ini turun di stasiun mana ya?"

Jika pelaku melakukan tindak pelecehan seksual, kita juga bisa mengabadikan dengan cara difoto. Namun Bahrul mengingatkan agar foto itu jangan diviralkan, tetapi dikirim ke Komnas Perempuan, LBH Apik atau lembaga-lembaga lain.

Terkadang masyarakat menilai bahwa tindak pelecehan seksual terjadi karena perempuan memakai pakaian yang menggoda. Data Komnas Perempuan mencatat bahwa pelecehan seksual juga terjadi pada perempuan yang berpakaian rapi. Pelecehan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan, namun juga terjadi pada laki-laki.

Pada diskusi tersebut, Bahrul mendorong korban pelecehan seksual untuk berani bersuara. Karena itu, ia berharap KAI Commuter membuka semacam call center untuk pengaduan jika terjadi pelecehan seksual.

Menanggapi kasus pelecehan seksual di transportasi publik, Asnifriyanti Damanik dari Asosiasi LBH Apik Indonesia, merasa miris karena terjadi di ruang publik yang seharusnya aman buat semua orang terutama perempuan. Agar semua orang merasa aman, ia berharap Kementerian Perhubungan membuat pedoman atau kebijakan pencegahan dan penanganan pelecehan seksual yang terjadi di transportasi publik.

Asni menerangkan bahwa pelecahan seksual bisa terjadi secara fisik dan non fisik. Pelecehan non fisik tidak hanya dari ucapan atau verbal, tapi juga bisa terjadi kalau kita mengirim atau memperlihatkan konten pornografi. "Kalau yang diperlihatkan tidak terima maka bisa masuk kategori pelecehan seksual," tuturnya.

Untuk pencegahan dan penanganan kasus pelecehan seksual, Asni mendorong KAI Commuter membuat Satgas Khusus untuk menerima pengaduan di tingkat awal atau dasar, kemudian bisa merujuk ke lembaga-lembaga yang menangani pelecehan seksual.

Bagi korban pelecehan seksual, LBH Apik akan memberikan layanan bantuan hukum secara cuma-cuma untuk mendampingi korban yang memilih menyelesaikan kasusnya itu secara hukum. LBH Apik akan melakukan pendampingan mulai dari melapor ke kepolisian, proses BAP hingga kasus itu diperiksa di pengadilan.

Asni menyampaikan, sesuai Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana kekerasan Seksual, tidak boleh lagi ada upaya damai untuk kasus-kasus kekerasan seksual kecuali pelakunya anak di bawah 18 tahun  dengan syarat-syarat tertentu. Sesuai UU tersebut, melapornya boleh di tempat korban berdomisili, tidak harus di tempat kejadian perkara (TKP).

Dalam kasus pelecehan seksual, sidangnya tertutup dan korban berhak didampingi penasehat hukum. "Aparat penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, sampai hakim punya kewajiban menginformasikan hak-hak korban. Selain hak mendapatkan pendampingan hukum, korban juga berhak mendapatkan perlindungan, dan mendapatkan pemulihan dan penguatan psikologis," terangnya.

Sementara itu VP Corporate Secretary KAI Commuter Anne Purba menjelaskan bahwa KCI sudah beberapa kali mensosialisasikan agar pengguna KRL Commuter Line berani mengungkapkan pelecehan yang mereka alami baik di stasiun maupun di dalam KRL.

KCI juga berusaha mengantisipasi pelecehan seksual dengan inovasi yang terus-menerus agar 1,2 juta penumpang KRL Commuter Line per hari menjadi aman. Salah satunya dengan membangun contact center bersama KAI di 021-121 agar pengguna KRL bisa melaporkan apapun yang dialami termasuk pelecehan seksual.

KCI juga mengembangkan teknologi Analytic Recognition (CCTV Analytic) semacam pemindai wajah yang dapat mengidentifikasi melalui rekam wajah pelaku tindak pelecehan maupun tindak kriminal lainnya berdasarkan data base pada sistem.

"KAI bisa bisa mem-blacklist penumpang kereta jarak jauh karena harus menginput NIK, berbeda dengan KRL Commuter Line yang penggunanya tidak melakukan input NIK, sehingga perlu teknologi pemindai wajah," terang Anne.

Selain itu, KCI melakukan sosialisasi di sekolah-sekolah tentang tata karma bertransportasi, karena mereka nantinya akan menggunakan transportasi publik.

Anne berharap penanganan pelecehan seksual ini bisa serius baik dari sisi regulator, operator dan pengguna. Tujuannya membuat pelaku kapok dan korban pulih dengan cepat.

Anne pun mengapresiasi pengguna KRL yang sudah melaporkan kejadian-kejadian di lingkungan stasiun dan CL. Ia berharap pengguna jasa KRL semakin berani melaporkan  sehingga pelaku-pelaku kejahatan merasa terawasi.

Diskusi yang digelar pada Peringatan Hari Ibu tersebut dimeriahkan dengan fashion show kebaya dari Komunitas Perempuan Pelestari Budaya Indonesia. Kegiatan ini dihadiri perwakilan komunitas pengguna KRL Commuter Line seperti KRLMania, Jalur Nambo, Peron Tiga, dan komunitas lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun