Perkembangan teknologi membuat aktivitas manusia tidak lepas dari gawai yang terhubung dengan internet atau ruang siber. Kondisi ini bisa menciptakan kerawanan spesifik yang harus diantisipasi seperti ancaman siber dan disrupsi informasi.
Saat mengikuti pembukaan Websummit DataGovAI 2022Â secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting pada Selasa (22/11/2022), saya tertarik dengan pemaparan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto tentang ancaman siber dan disrupsi informasi.
O iya, Websummit DataGovAI 2022Â digelar oleh Asosiasi Big Data & AI (ABDI) dan akan berlangsung selama tiga hari pada 22, 24 dan 29 November 2022. Gelaran, Websummit DataGovAI 2022Â mengusung tema utama 'Interoperability, Integrity & Trust Of Digital Technology Toward Future Economic Recovery & Metaverse'.
Dalam Websummit tersebut Andi menyampaikan bahwa serangan siber bisa berasal dari beragam aktor mulai dari negara asing, kelompok kriminal, teroris siber, dan peretas baik pemula maupun yang melakukan kegiatan-kegiatan hacktivism.
Metode pun beragam bisa menggunakan virus, serangan situs web, worms, phishing, serangan terhadap pangkalan data, hingga disrupsi informasi. Sasarannya bisa menyerang individu, perusahaan, hingga instansi pemerintah.
"Yang paling berbahaya kalau sasarannya berkaitan tentang infrastruktur kritikal yang mencakup kehidupan masyarakat banyak dan juga fasilitas-fasilitas strategis negara," tuturnya.
Dalam paparannya, Andi juga menjelaskan jenis-jenis dirupsi informasi yaitu misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Lalu apa perbedaannya?
Misinformasi terjadi ketika informasi yang salah disebarkan, namun tidak dengan maksud menyebabkan kekacauan. Disinformasi ketika informasi yang salah sengaja disebarkan untuk menyebabkan kekacauan. Sementara, malinformasi ketika informasi yang benar disebarkan untuk menyebabkan kekacauan.
Di era sekarang, teknologi telah menjadi faktor pemicu disrupsi informasi, termasuk dalam proses politik. Platform online, terutama media sosial, berpotensi menjadi kanal mempromosikan disinformasi dan memanipulasi opini publik. Situasi tersebut dapat memicu keretakan di masyarakat yang berujung pada ancaman terhadap demokrasi.
Lebih lanjut Andi menyampaikan, survei yang dilakukan beberapa negara menunjukkan bahwa sekitar 80% orang menyakini bahwa disinformasi memiliki efek negatif terhadap proses politik negaranya. Disinformasi dapat menabur ketidakpercayaan di berbagai pilar lembaga demokrasi, termasuk lembaga publik seperti pemerintah, parlemen, dan pengadilan atau prosesnya, serta media.