Suatu ketika, saat jalan-jalan ke pasar kaget di wilayah Depok, Jawa Barat, saya menjumpai penjual masakan keong sawah berkuah warna kuning. Orang Jawa Barat biasanya menyebut keong sawah sebagai tutut.
Karena penasaran ingin mencicipi tutut, saya pun membelinya. Ternyata rasanya enak dan bikin nagih. Cara menikmati tutut berkuah juga unik.
Cara mengolah keong sawah atau tutut di Depok dan umumnya di Jawa Barat ternyata berbeda dengan di kampung halaman saya di Purworejo, Jawa Tengah. Saya jadi ingat sewaktu kecil sering mencari keong di persawahan.
Biasanya keong bersembunyi di lumpur sawah tepian pematang atau sela-sela tanaman padi. Keong yang diambil adalah keong yang berukuran cukup besar.
Jika tidak terburu-buru dan masih ada bahan makanan lain yang dimasak, keong sawah bisa ditampung di ember beberapa hari agar aroma lumpur sawah menghilang. Selanjutnya keong direbus menggunakan panci.
Keong direbus untuk memudahkan mengambil daging yang bersembunyi di dalam cangkang. Caranya cukup dengan mengetuk-ngetukkan cangkang. Daging keong akan keluar bersama kotoran. Ambil dagingnya dan buang kotorannya.
Daging keong kemudian dibersihkan dan siap diolah sesuai selera dan ketersediaan bumbu di dapur. Ibu saya biasanya mengolah daging keong tersebut menjadi oseng keong. Rasanya mantap, apalagi jika disantap bersama nasi hangat.
Berbeda di Depok, keong sawah alias tutut diolah dan disajikan bersama cangkangnya. Tutut diolah menjadi masakan berkuah bumbu kuning yang pedas menggoda selera.Â
Tutut yang diolah juga berukuran kecil-kecil, beda dengan ukuran keong sawah yang sering dimasak di kampung halaman. Saya amati, bagian ujung cangkang tutut sudah terpotong, mungkin agar bumbu meresep ke dalam.
Karena terbiasa makan oseng daging keong, saya agak kerepotan saat menikmati tutut. Meskipun beberapa kali menikmati tutut kuah kuning, saya terbilang masih amatir.
Untuk memakan tutut, saya mengandalkan tusuk gigi untuk mencongkel daging tutut dari cangkangnya. Setelah dagingnya keluar, saya buang kotorannya sebelum menyantap tutut. Â
Berbeda dengan istri saya yang urang Sunda. Ia punya 'jam terbang tinggi' dan levelnya 'tingkat mahir' untuk urusan menikmati tutut. Ia menyedot bagian daging langsung dari cangkangnya. Bunyi khas akan terdengar: syruput.
Beberapa kali ia mengajarkan cara menyeruput tutut langsung dari cangkang. Tapi saya masih ngeri karena takut kotoran tutut ikut tertelan. Jadi saya masih bertahan menggunakan bantuan tusuk gigi. Nggak apa-apalah dibilang amatir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H