Saat membuka kotak bekal, aroma tak sedap menyergap indra penciumanku. Nasi putih yang seharusnya menebarkan aroma khas yang menggoda selera, tercium bau tak karuan. Kenapa nasi ini bisa cepat basi?
Biasanya, Bi Inah memasak nasi selepas subuh. Setelah benar-benar tanak, Bi Inah tak langsung memasukkan nasi panas ke dalam kotak bekal. Satu centong setengah nasi akan mampir dulu ke piring hingga uap panas pergi, sebelum mendekam ke kotak bekal.
Selama ini, nasi yang kubawa untuk bekal makan siang tak pernah bermasalah. Persoalan kecil paling sendok atau garpu yang tertinggal. Gara-gara terburu-buru berangkat kerja, dua tiga kali kotak bekal tergeletak di meja makan. Kadang sebaliknya, kotak bekal yang sudah kosong tertinggal di meja kerja.
Aroma tak sedap kembali menusuk hidungku. Aku jadi teringat peristiwa yang sama di malam sebelumnya. Saat menghadapi sepiring hidangan makan malam, biasanya sendok dan garpu di tangan Mas Prasetyo langsung sigap bekerja. Tentu saja setelah selesai berdoa.
Namun, malam kemarin Mas Pras mengurungkan melahap nasi dan sayur lodeh kesukaannya. Hidungnya sibuk mengendus, "Kok nasinya bau aneh Ma."
"Masa sih? Hidung Papa mungkin yang lagi mampet," jawabku sambil meraih bakul nasi dari bambu. Hidungku menganalisa aroma nasi. Aroma tak sedap mampir di indra penciuman.Â
"Iya benar Pa, nasinya basi. Waduh! tadi Mama sudah makan tiga suap," kataku sambil menempelkan tangan di dahi.
"Ya anggap saja vitamin," kata Mas Pras enteng.
Bi Inah yang aku minta untuk mengecek nasi juga berpendapat sama. Raut wajahnya terlihat heran. Beberapa kali ia mendekatkan sesendok nasi putih ke hidung untuk memastikan penciumannya.
"Maaf Pak, Bu. Bibi tadi masaknya jam lima sore, biasanya sampai pagi hingga siang hari juga nggak basi. Ini aneh bu. Kalau Bapak dan Ibu mau menunggu, biar Bibi masak nasi lagi," kata Bi Inah merasa bersalah.
"Nggak usah Bi. Biar saya saja yang beli nasi di Warung Padang depan komplek. Sayang nih lodeh, sambal, dan ikan asinnya," kata Mas Pras.
"Saya jadi tidak enak Pak, Bu. Maafkan saya," kata Bi Inah.
"Sudahlah Bi, nggak apa-apa kok," kataku sambil memegang bahu Bi Inah.
Kembali kucium nasi putih di kotak bekalku. Â Nasi ini sudah tak layak dikonsumsi. Aku bergegas menyuruh Paijo, office boy di kantorku untuk membeli nasi putih di kantin. Semoga kasus nasi basi tak menerorku lagi.
--- oOo ---
Sayangnya harapanku jauh panggang dari api, jauh piring dari nasi. Saat makan malam, Mas Prasetyo kembali mengeluhkan nasi putih yang berbau tak sedap. Aku juga mencium hal yang sama. Bi Inah kembali merasa bersalah.
Mas Prasetyo menduga ada kesalahan di alat penanak nasi. Mungkin ada cicak atau binatang lain yang tak sengaja masuk melalui celah, kemudian mati terpanggang hingga menularkan bau tak sedap. Kalau dari beras rasanya tak mungkin. Beras yang dimasak Bi Inah adalah beras kualitas premium dari toko langganan dan sebelumnya tidak pernah bermasalah.
Mas Prasetyo langsung mengambil obeng untuk membongkar rice cooker. Begitulah suamiku, kalau sudah penasaran langsung dikerjakan. Tak peduli malam dan lelah sepulang kerja. Setelah cukup lama kerepotan, tutup bagian bawah terbuka. Namun kami tidak mendapati seekor hewan yang terjebak.
Tak ada jejak semut, lalat, cicak, kecoa, kadal, serangga, apalagi gajah. Rasanya rumah kami cukup steril dari hewan-hewan itu. Bi Inah selalu bisa diandalkan dalam menjaga kebersihan. Jangankan serangga, setitik debu tak pernah dibiarkannya mengotori rumah.
Karena analisanya salah, Mas Prasetyo menduga air sebagai penyebabnya. Ia bergegas memeriksa air di dapur. Aku terpancing ikut memeriksa. Menurut penilaianku, air yang mengucur dari kran masih sangat layak: bening, tak berbau dan tak berasa.
"Coba besok pagi Bi Inah mencuci dan memasak berasnya pakai air mineral di galon. Kalau nasinya masih basi juga, nanti saya beli rice cooker baru," kata Mas Pras.
Bi Inah menganggukkan kepala. Tapi setelah Mas Pras meninggalkan dapur, ia memegang lenganku.
"Maaf bu, saya ingin bicara sedikit. Kata orangtua dulu, kalau masak nasi cepat basi biasanya ada saudara atau kerabat yang sedang sakit parah."
Aku terkejut mendengar perkataan Bi Inah. Apa hubungannya nasi basi dengan orang sakit. Di zaman yang semakin canggih apakah hal-hal seperti masih berlaku?
"Maaf bu, ini bukan tahayul tapi semacam sasmita atau isyarat. Bibi sudah telepon semua saudara Bibi. Alhamdulillah, semuanya sehat. Tak ada salahnya kalau Ibu dan Bapak mencari tahu barangkali ada saudara yang sakit. Bibi berdoa semoga semua baik-baik saja. Maaf kalau Bibi lancang."
"Nggak apa-apa Bi. Bibi disini kan sudah kami anggap seperti keluarga sendiri."
--- oOo ---
Teror nasi basi kembali menyambangi meja kerja. Aku tak habis pikir, mengapa sudah dua hari ini keluarga kecilku berkutat pada masalah nasi yang mudah bau. Padahal, sesuai petunjuk Mas Pras, Bi Inah mencuci dan memasak beras memakai air mineral.
Berbagai pertanyaan berseliweran dalam benakku. Apakah mungkin persoalan ini bukan lagi masalah teknis tapi sudah menjurus ke mistis. Benarkah apa yang dikatakan Bi Inah?
Ah bibi ada-ada gajah eh ada-ada saja, komentar Mas Pras malam kemarin. Kalau ada yang sakit pasti ada kabar di grup WhatsApp keluarga  besar kita. Sekarang kan era informasi teknologi, kalau ada info penting pasti tersiar. Lha info nggak penting aja diberitakan, ada semut keseleo aja kita bisa tahu, lanjut Mas Pras.
Memang sejak ada grup WA kami bisa saling bertukar kabar, dari informasi penting hingga cerita remeh temeh. Tempo hari ibu di kampung mengunggah foto masakan oseng melinjo. Mas Eko mancing di sungai dapat dua ekor ikan gabus. Keponakan jalan-jalan ke Bali. Tante Muni lagi berdesakan di kereta listrik menuju Tanah Abang. Shopping lah Jeng, tulisnya.
Adakah kabar penting yang terselip dan tak terbaca di antara riuh percakapan. Lalu, firasat apa yang harus kutangkap dari kasus nasi basi ini. Adakah satu peristiwa yang luput dari pantauan.
Jangan-jangan kamu kena gendam atau guna-guna, kata Levina saat aku curhat di kantin. Levina bercerita pengalaman saudaranya, pemilik rumah makan yang laris manis. Suatu ketika berhari-hari nasi yang dimasak selalu basi. Pelanggan pun pindah ke warung sebelah. Kata orang pintar, nasi itu kena guna-guna. Walaupun masalah bisa diatasi, namun butuh waktu untuk memulihkan kepercayaan pelanggan.
"Kalau benar, pasti itu karena persaingan usaha. Tapi apa alasannya mengusili aku?"
"Mungkin ada yang tak suka dengan karirmu yang melesat."
"Apa hubungannya nasi basi dengan karir? Kalau mau menghancurkan karirku, kan lebih efektif jika dia menghapus data klien perusahaan di komputerku, memfitnah aku di depan boss, menyebarkan kabar burung atau yang lainnya."
"Apa mungkin ada guna-guna yang salah sasaran."
--- oOo ---
Di saat aku sibuk menduga-duga akan sebab di balik rahasia nasi basi, ternyata kakak kandungku sedang terbaring menahan sakit. Kabar sakitnya Mbak Fitri kuterima dari telepon Bagas, anak lelakinya. Mbak Fitri sengaja tak mengirim kabar di grup WA karena tak mau merepotkan saudaranya, apalagi sampai membuat cemas ayah dan ibu.
"Ibu sekarang masih terbaring di kamar. Kondisi tubuhnya sangat lemas. Sebenarnya Bagas ingin membawa ke rumah sakit, tapi Ibu tidak mau. Tiga hari yang lalu, Ibu sudah ke Puskesmas, tapi belum ada perubahan. Sebenarnya sudah dari kemarin Bagas ingin mengabarkan berita ini ke Tante, tapi ibu melarang. Bagas takut kalau terjadi apa-apa dengan Ibu," kata Bagas dengan suara terbata-bata.
Sejak menjadi single parent, kehidupan ekonomi Mbak Fitri di Purworejo, sebuah kota kecil di Jawa Tengah, memang pasang surut. Namun dia sangat gigih berjuang demi bisa menyekolahkan Bagas, yang sekarang duduk di kelas dua sekolah menengah atas. Segala usaha dijalaninya tanpa mau bergantung pada saudara maupun orang lain. Mulai dari membuka warung, berjualan kue dan lain-lain.
Akhirnya, aku menyuruh Bagas membawa Mbak Fitri ke rumah sakit. Tentu saja setelah menstranfer uang untuk membantu biaya pengobatan. "Bagas minta tolong saja sama Paklik Karsono agar membawa ibumu ke rumah sakit."
Aku menatap nasi basi yang ada di kotak bekal. Benar juga kata Bi Inah, ternyata ada yang mengirimkan isyarat dalam senyap. Ternyata aku tak cukup peka membaca tanda-tanda. Dari kasus nasi basi ini aku harus lebih banyak belajar tentang kehidupan.
--- oOo ---
Tiga hari berselang, ketika hendak membuka kotak bekal makan siang, sebuah panggilan menggetarkan telepon genggam. Kata "Mbak Fitri" berkedip-kedip di layar. Aku bergegas mengangkat telepon, berharap kabar baik datang dari kakakku.
"Alhamdulillah kondisiku sudah membaik. Dokter sudah mengizinkan aku pulang. Mungkin Aku terlalu bekerja keras dan kurang istirahat hingga tifus menyerang. Makasih Isna, aku tak tahu harus bagaimana membalas kebaikanmu. Aku selalu merepotkan kamu."
"Nggak apa-apa Mbak. Dulu juga Isna yang selalu merepotkan Mbak Fitri. Maafkan juga kalau Isna belum sempat menengok Mbak Fitri. Mbak istirahat dulu saja," jawabku. Tak terasa mataku mulai sembab.
Setelah tiga puluh menit kami bercakap-cakap, perasaanku terasa lega. Aku pun membuka kotak bekal. Setelah tutupnya terbuka, aroma khas berhamburan dari nasi putih. Tak ada lagi jejak aroma nasi basi.
--- oOo ---
Depok, 2020-2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H