"Nggak usah Bi. Biar saya saja yang beli nasi di Warung Padang depan komplek. Sayang nih lodeh, sambal, dan ikan asinnya," kata Mas Pras.
"Saya jadi tidak enak Pak, Bu. Maafkan saya," kata Bi Inah.
"Sudahlah Bi, nggak apa-apa kok," kataku sambil memegang bahu Bi Inah.
Kembali kucium nasi putih di kotak bekalku. Â Nasi ini sudah tak layak dikonsumsi. Aku bergegas menyuruh Paijo, office boy di kantorku untuk membeli nasi putih di kantin. Semoga kasus nasi basi tak menerorku lagi.
--- oOo ---
Sayangnya harapanku jauh panggang dari api, jauh piring dari nasi. Saat makan malam, Mas Prasetyo kembali mengeluhkan nasi putih yang berbau tak sedap. Aku juga mencium hal yang sama. Bi Inah kembali merasa bersalah.
Mas Prasetyo menduga ada kesalahan di alat penanak nasi. Mungkin ada cicak atau binatang lain yang tak sengaja masuk melalui celah, kemudian mati terpanggang hingga menularkan bau tak sedap. Kalau dari beras rasanya tak mungkin. Beras yang dimasak Bi Inah adalah beras kualitas premium dari toko langganan dan sebelumnya tidak pernah bermasalah.
Mas Prasetyo langsung mengambil obeng untuk membongkar rice cooker. Begitulah suamiku, kalau sudah penasaran langsung dikerjakan. Tak peduli malam dan lelah sepulang kerja. Setelah cukup lama kerepotan, tutup bagian bawah terbuka. Namun kami tidak mendapati seekor hewan yang terjebak.
Tak ada jejak semut, lalat, cicak, kecoa, kadal, serangga, apalagi gajah. Rasanya rumah kami cukup steril dari hewan-hewan itu. Bi Inah selalu bisa diandalkan dalam menjaga kebersihan. Jangankan serangga, setitik debu tak pernah dibiarkannya mengotori rumah.
Karena analisanya salah, Mas Prasetyo menduga air sebagai penyebabnya. Ia bergegas memeriksa air di dapur. Aku terpancing ikut memeriksa. Menurut penilaianku, air yang mengucur dari kran masih sangat layak: bening, tak berbau dan tak berasa.
"Coba besok pagi Bi Inah mencuci dan memasak berasnya pakai air mineral di galon. Kalau nasinya masih basi juga, nanti saya beli rice cooker baru," kata Mas Pras.