Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Berkenalan dengan Alat Musik Karinding di Kemah Seni Humaland

9 September 2018   15:58 Diperbarui: 9 September 2018   21:33 1785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mukhlis Ponco salah satu pendiri Workshop Karinding Nusantara. Foto Setiyo

Suasana sejuk dan damai tercipta saat sekelompok seniman dari Workshop Karinding Nusantara memainkan peralatan musik dari bambu di acara Kemah Seni yang digelar di lingkungan teduh dan asri.

Salah satu yang menarik perhatian adalah karinding, alat musik tradisional yang dimainkan dengan cara dipukul sehingga menghasilkan getaran dan disalurkan melalui rongga mulut. Bagi generasi milenial, alat musik karinding mungkin kurang populer dan terdengar asing.

Mukhlis Ponco (40 tahun) salah satu pendiri Workshop Karinding Nusantara menerangkan awalnya karinding bukan alat musik, namun alat permainan yang pernah trend pada zaman dahulu. Alat ini kerap dimainkan oleh anak-anak remaja sehingga menimbulkan irama-irama musik.

"Karinding ternyata tidak hanya ada di wilayah Sunda, namun di berbagai wilayah seluruh dunia dengan nama dan cara memainkan yang berbeda. Di beberapa wilayah, karinding menjadi daya tarik karena ada mantra-mantra tertentu saat memainkannya," terang Mukhlis di sela acara Kemah Seni yang digelar Yayasan Tiara Humaland di Pondok Ranggon, Kelurahan Sasak Panjang, Kecamatan Tajur Halang, Kecamatan Bogor pada Sabtu (8/9/2018).  

Menurut Mukhlis, di beberapa daerah, karinding dimainkan untuk ritual penanaman padi, penanaman pohon, atau upacara adat. Di Cisungsang, Banten, karinding masih dipakai untuk ritual sebelum penanaman padi. Di wilayah Rangkas ada empat mantra karinding yang menjadi daya tarik lawan jenis.

"Makanya orang dahulu bilang saat mau ngapel, ceweknya yang sedang tidur dibangunkan dari luar rumah dengan suara karinding. Padahal suaranya pelan, tapi bisa membangunkan. Itulah daya pikat karinding," ungkap Mukhlis.

Tak hanya itu, lanjutnya, permainan karinding ternyata sangat bermanfaat bagi kesehatan, karena kita menggemakan suara getaran dari lidah Karinding ini ke seluruh bagian dalam tubuh. Jadi ruang rongga nafas dari hidung sampai ke bawah perut menggemakan suara karinding, sehingga melancarkan aliran darah.

Mukhlis Ponco salah satu pendiri Workshop Karinding Nusantara. Foto Setiyo
Mukhlis Ponco salah satu pendiri Workshop Karinding Nusantara. Foto Setiyo
Sebagai bentuk gerakan pelestarian budaya, Mukhlis bersama empat rekannya mendirikan Workshop Karinding Nusantara.

"Kami hadir di setiap acara untuk belajar bersama gratis untuk membuat karinding, cara memainkan, dan cara mengkomposisikannya dengan musik modern. Biar tidak tertinggal dengan zaman," terangnya.

Selama lima tahun berjalan, mereka melakukan workshop di berbagai tempat baik di dalam maupun luar ruangan. Mereka telah merambah ke ruang-ruang kelas sekolahan mulai dari SD, SMA hingga kampus.

Misalnya, di UMN Tangerang, SMK 5 Semarang, SD di Banten, dan masih banyak lagi. Workshop ini memiliki wilayah gerakan di Jakarta, Banten, Yogyakarta, Semarang, Palu, Bali, dan Malang.

Dalam perbincangan di Kemah Seni tersebut, Mukhlis memperagakan filosofi cara memainkan karinding yaitu yakin, sabar dan sadar. Kalau kita tidak memakai filosofi itu memaikannya tidak akan sempurna.

Bagian pertama adalah pegangan, yang secara filosofi adalah keyakinan yang kuat, sebab getaran itu harus ada tempat statis agar lama bergetar.

Filosofi kedua adalah pukulan yang menghasilkan getaran, bermakna kesabaran yang akan terasa di dalam rongga tubuh.

Dari cara memainkannya, karinding terbagi menjadi tiga jenis yaitu pukul, tarik, dan towel (colek). Karinding dari Lombok bernama Slober, cara memainkkannya dengan ditowel. Karinding yang ditarik ada di Jawa dengan nama Rinding, di Bali bernama Genggong, di Papua bernama Pikon, dan beberapa daerah lain dengan berbeda.

Satu-satunya karinding yang dipukul, berasal dari wilayah Sunda. Sementara karinding dari luar negeri rata-rata ditowel dan terbuat dari besi.

Karinding saat dipadukan dengan alat musik modern, menurut Mukhlis berperan sebagai rhytm dan perkusi. Untuk pemula, satu karinding akan menimbulkan satu nada.

Bagi yang sudah mahir, satu karinding bisa menimbulkan tiga nada karena saat memainkannya melibatkan tiga ruang dalam tubuh yaitu rongga mulut, tenggorokan, dan rongga perut.

Untuk membuat karinding, jenis bambu yang bagus adalah bambu betung kering. Standar ukurannya, jarak antara pemukul dengan bunyi 3 banding 2. Patokan ukurannya bisa menggunakan tiga jari dan dua jari. Untuk panjang pegangannya bebas dan bisa disesuaikan untuk kenyamanan saat memegang.

Mukhlis mengungkapkan, tantangan dalam gerakan melestarikan karinding ini dalah masalah keuangan. Mereka harus mengumpulkan uang sebelum pergi ke suatu tempat.

Namun, Mukhlis sangat bahagia karena sambutan yang antusias dari peserta terutama anak-anak. Karena sudah lima tahun berjalan, mereka memiliki metode praktis untuk mengajarkan karinding.

Saat ini, terang Mukhlis, beberapa peserta workshop sudah ada yang membuat sanggar karinding seperti Barak Karinding, Sekar Gelok, Karinding Ujung Kulon, Karang taruna di Gunung kidul, dan lain-lain. Pada Desember 2018, Mukhlis dan teman-temannya berencana membuat pertunjukan 1000 pemain Karinding di Tangerang.

Walaupun menghadapi berbagai kendala dan tantangan, Workshop Karinding Nusantara akan terus bergerak dari satu tempat ke tempat lain untuk melestarikan karinding. Salut!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun