Belasan remaja berlomba kepiawaian membaca puisi, sementara anak-anak tingkat PAUD dan TK antusias mengikuti lomba mewarnai. Di bawah rindang pepohonan, sekelompok seniman duduk lesehan beralaskan terpal bermain Karinding, alat musik dari bilah bambu.
Itulah suasana Kemah Seni di Humaland di kampung sunyi penyangga ibukota yaitu Pondok Ranggon, Kelurahan Sasak Panjang, Kecamatan Tajur Halang, Kecamatan Bogor pada Sabtu (8/9/2018). Untuk mencapai kawasan asri itu, saya harus menyusuri jalan panjang berkelok dan berliku. Bahkan pengendara ojek online yang mengantar saya dari Stasiun Bojonggede beberapa kali berhenti dan mengecek peta untuk memastikan tidak salah jalan.
Frans Ekodhanto, Ketua Pelaksana Kemah Seni mengungkapkan kegiatan ini bertujuan mengingatkan bahwa kesenian termasuk sastra adalah bagian dari kehidupan masyarakat. Seni sudah ada sejak peradaban manusia misalnya seni dalam pernikahan, upacara adat kelahiran atau kematian, seni dalam bercocok tanam, dan lain-lain.
Sekarang ini kesenian itu yang ditampilkan baik oleh swasta maupun pemerintah identik dengan kemewahan. Misalnya pameran seni rupa di gedung ber-AC, pagelaran musik dan tari di panggung-panggung pertunjukan atau gedung kesenian. Kesenian seperti di menara gading sehingga masyarakat tertentu tidak bisa mengaksesnya.
 "Penyelenggaraan Kemah Seni ini ingin mendudukkan kembali seni pada posisinya. Seni itu milik siapa saja baik masyarakat, pemerintah, dan orang keren," terang Frans di sela-sela acara Kemah Seni.
Kemah Seni yang dibuka oleh Kepala Galeri Nasional, Pustanto ini juga menjadi ajang silaturahmi. Semacam persimpangan bertemunya semua kalangan dari anak TK/PAUD sampai yang sudah tua, baik seniman maupun sekedar tukang. Termasuk pejabat, praktisi, maupun ahli-ahli seni seperti dosen kesenian, guru, maupun kurator.
"Kalau zaman dahulu seni atau sastra oleh Rendra dan Widji Tukul menjadi alat perjuangan. Seni sebagai alat pemersatu kita untuk saat ini. Apapun agamamu dan warna kulitmu, kita sama-sama di sini," tegas Frans yang juga penyair muda ini.
Dalam Kemah Seni juga diselenggarakan workshop yang dibagi dalam empat tenda yaitu musik, seni rupa, sastra, dan jurnalistik. Tak kalah pentingnya, Malam Kesenian yang menghadirkan pembacaan puisi oleh para penyair seperti Irmansyah, Iwan J. Kurniawan, Dharmadi, Sihar Ramses Simatupang, dan lain-lain. Pada Malam Kesenian juga menghadirkan pertunjukan musik, tari, dan pertunjukan dari seniman dan masyarakat.
"Aktivitas kesenian ini tidak berjalan sendiri tapi didukung dengan kerjasama para seniman dan warga sekitar mulai dari anak yang baru belajar sampai orang yang sudah pakai tongkat," pungkas Frans.
Huma di Sasak PanjangÂ
Ketua Yayasan Tiara Humaland, Yvonne De Fretes menuturkan pendirian PAUD/TK Huma berawal dari kepedulian terhadap anak-anak di sekitar Kampung Pondok Ranggon, Sasak Panjang, Tajur Halang, Bogor. Saat pertama kali tinggal di wilayah tersebut pada 2004, Yvonne langsung mendirikan Taman Bermain di salah satu bagian lahan miliknya seluas 1 hektar.
Menurut penyair dan penulis cerpen ini, kebutuhan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya adalah pendidikan. Yvonne prihatin melihat kondisi anak-anak berusia 11 -- 12 tahun yang sudah dikawinkan oleh orangtuanya.
Awalnya pendirian PAUD itu sempat menuai kecurigaan warga. Muridnya cuma tiga orang. Namun karena sekolah PAUD/TK terdekat hanya di Humaland, lambat-laut jumlah muridnya bertambah. Saat ini jumlah muridnya mencapai 18 anak, bahkan pernah mencapai 30 anak.
Menurut Yvonne, biaya sekolah di PAUD/TK Humaland nyaris gratis. Tidak ada istilah SPP tapi infak 10-15 ribu, ungkapnya. Pengajar dua orang dengan jam pelajaran mulai dari pukul 10.00 WIB untuk memberi kesempatan bagi orangtua murid untuk menyelesaikan pekerjaan di rumah sebelum mengantar anak ke sekolah. Yvonne mengatakan, meskipun sekolah di bawah pohon bambu, tapi murid-murid Humaland sudah bisa baca tulis sebelum masuk Sekolah Dasar.
Yvonne berharap dengan helatan Kemah Seni, hidup masyarakat menjadi lebih bahagia, menjadi lebih cerdas, lebih peduli pada lingkungan, lebih peduli pada sesama, dan yang paling penting bersatu dalam perbedaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H