Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Melestarikan "KDRT" untuk Pengobatan Masuk Angin

26 November 2017   14:00 Diperbarui: 26 November 2017   14:19 2573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis saat dikeroki oleh Ibu tercinta (Foto Dokumen Pribadi)

Durung mari nek rung dikeroki.

Kalimat dalam Bahasa Jawa yang terjemahannya "Belum sembuh kalau belum dikeroki," sering terlontar dari orang yang sedang masuk angina tau tak enak badan. Kerokan telah lama menjadi pengobatan tradisional yang diandalkan untuk mengobati masuk angin, nyeri otot, perut kembung, mual, sakit kepala, meriang, dan lain-lain.

Bahkan tiap keluarga di Jawa biasanya sudah menyiapkan wadah khusus untuk alat kerokan. Misalnya, tatakan gelas atau mangkuk kecil. Tujuannya agar setiap saat diperlukan bisa melaksanakan KDRT (Kerokan dalam Rumah Tangga). Bukan kekerasan dalam rumah tangga lho.

Isinya berbeda-beda sesuai kebiasaan keluarga tersebut. Ada yang suka memakai minyak goreng atau minyak kelapa, balsem, minyak angin, minyak tawon, hingga minyak tanah. Sewaktu kecil, Ibu saya suka mencampur minyak kelapa (lenga klentik) dengan sedikit minyak tanah (lenga patra).

Saat ini, orang banyak mengandalkan balsam untuk kerokan. Salah satunya Balsem Lang. Produk dari PT Eagle Indo Pharma (Cap Lang) ini hangatnya pas, tidak terlalu lengket dan terdapat aroma terapi yang akan membuat orang yang dikerok merasa nyaman dengan aromanya. Sebagaimana tradisi kerokan, Balsem Lang telah 40 tahun menjadi sahabat dan teman kerokan yang menyembuhkan.

Sebagai balsam pereda sakit, Balsem Lang terbuat dari campuran bahan-bahan alami bermutu tinggi. Balsem Langjuga bisa menjadi balsam aromanya terapi dan obat luar multi fungsi. Balsem Lang memiliki beberapa keunggulan antara lain: lebih tidak lengket, aroma yang menenangkan, membantu meringankan sakit dan nyeri termasuk pusing, masuk angin, pegal-pegal, nyeri sendi, salah urat, keseleo, sesak napas, mabuk perjalanan, dan gatal-gatal karena gigitan serangga.

Balsem Lang, sahabat setia saat kerokan (foto www.caplang.com)
Balsem Lang, sahabat setia saat kerokan (foto www.caplang.com)
Setiap orang memang punya cara dan gaya tersendiri saat kerokan. Kalau istri saya lebih suka dikeroki memakai hand body lotion. Selesai kerokan, punggung dibersihkan dengan tisu, kemudian dibaluri minyak angin atau balsm.

Alat pengeroknya pun beragam misalnya uang logam atau sendok. Uang logam kuno atau sering disebut uang benggollebih disukai karena sisinya tidak bergerigi. Semakin sering dipakai semakin nyaman uang logam tersebut untuk kerokan.

Karena sulit mencari uang logam kuno, saya pernah mencoba memakai anak kunci yang pipih. Ternyata lebih enak karena lebih mudah dipegang. Akhirnya anak kunci terus kami pakai untuk kerokan.

Saya mengenal kerokan sejak kecil. Tradisi turun-temurun itu telah menjadi bagian dari kehidupan di kampung saya di wilayah Purworejo, Jawa Tengah. Begitu sebagian besar kampung-kampung di Pulau Jawa.

Dari cerita Ibu, sewaktu kecil saya pernah dikerokin menggunakan bawang merah. Menurut saya, hal ini merupakan bentuk kepekaan rasa, sebab kulit anak kecil bisa terluka bila dikerok memakai uang logam.

Walaupun sudah sering dikeroki, sampai saat ini saya masih suka kelojotan seperti cacing kepanasan saat dikeroki. Kalau kata istri saya, seperti tidak bisa diam seperti belatung nangka. Terutama jika yang mengerok asal-asalan, seakan mengeroki kulit bayi. Bayi badak maksudnya.

Bagi saya, sosok yang cara mengeroki paling nyaman tak lain adalah Ibu. Ia sangat telaten dan lembut saat menggeroki. Tekanan uang logam ke kulit juga pas. Kerokan istri juga nyaman (harus dipuji juga dong, biar nanti mau ngerokin lagi), cuma kadang tekanan kerokannya nggak kira-kira.

Kunci cara mengerok adalah naluri dan perasaan, demikian kata Ibu. Memang tidak ada buku tutorial tentang cara kerokan yang baik dan benar. Tak ada lembaga yang membuka kursus kerokan dengan empat kali pertemuan langsung mahir mengerok.

Dengan perasaan seorang Ibu, ia bisa pas menentukan tekanan dan kemiringan uang logam. Naluri seorang ibu juga menuntunnya membuka ruang dialog tentang banyak hal selama proses kerokan. Saat kerokan saya bisa mendengar nasehat-nasehat dari Ibu. Saya juga tak segan untuk curhat pada Ibu. Kerokan memang bisa mendekatkan dua individu.

Walaupun sekarang saya sudah berumah tangga, saat pulang kampung saya kadang minta kerokan sama Ibu. Angin perjalanan menuju kampung kadang mengganggu kesehatan badan. Bahasa puitisnya, "Pada kerokan kita akan membaringkan bilah-bilah lelah, tubuh perjalanan yang golah diterpa angin kehidupan."

Penulis saat dikeroki oleh Ibu tercinta (Foto Dokumen Pribadi)
Penulis saat dikeroki oleh Ibu tercinta (Foto Dokumen Pribadi)
Saya pernah mengeroki beberapa orang. Responnya berbeda-beda. Ada yang bilang lumayan. Ada juga yang mengeluh, "Kamu ini niat ngerokin apa nyangkul. Emang punggung saya sawah ya." Mungkin saya tipe orang yang tak sabaran. Jarak antar kerokan saya sengaja dibuat lebar agar proses kerokan cepat selesai. Kadang pola kerokannya juga abstrak. Tentu saja ini contoh yang tidak baik.

Bukan sekedar tradisi turun temurun, kerokan ternyata mengandung makna filosofi yang dalam. Antropolog dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Atik Triratnawati dalam Koran Kompas (29/10/2010) menyebutkan, kerokan dipercaya mampu mengembalikan keseimbangan individu, baik fisik maupun metafisik.

Atik menerangkan, orang Jawa menggunakan cara kerokan sebagai penyembuhan holistik, yakni berusaha mengembalikan keseimbangan jagad gedhe (makrokosmos) maupun jagad cilik (mikrokosmos). Artinya, manusia berusaha memperbaiki relasi sosial, baik dengan sesama, lingkungan maupun Tuhan.

Menurutnya, kerokan juga mengandung unsur tolong menolong. Memang penderita mampu mengerok diri sendiri. Namun, ada bagian tubuh tertentu yang harus dikerok oleh orang lain, karena keterbatasan jangkauan tangan manusia. Di tengah masyarakat orang yang sedang masuk angin sering meminta keluarga, saudara atau tetangga untuk kerokan.

Meskipun kerokan merupakan pengobatan yang diandalkan secara turun temurun, namun masih ada orang yang tidak mau melakukannya. Salah satu alasannya, kerokan konon menyebabkan pori-pori kulit menjadi lebar sehingga orang menjadi gampang masuk angin. Kerokan juga dianggap dapat merusak kulit dan bisa membuat pembuluh darah pecah.

Anak ayah belajar ngeroki (foto dokumen pribadi)
Anak ayah belajar ngeroki (foto dokumen pribadi)
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Solo (UNS), Prof. Dr. Didik Gunawan Tamtomo,dr, PAK, MM, M.Kes dalam Koran Kompas (10/04/2012) memaparkan hasil pemeriksaan di laboratorium patologi anatomi UNS menunjukkan tidak ada kulit yang rusak ataupun pembuluh darah yang pecah, tetapi pembuluh darah hanya melebar.

Melebarnya pembuluh darah membuat aliran darah lancar dan pasokan oksigen dalam darah bertambah. Kulit ari juga terlepas seperti halnya saat luluran, terangnya.

Prof. Didik telah melakukan penelitian mengenai manfaat kerokan sepanjang 2003-2005. Praktik pengobatan ini dikenal sejak zaman nenek moyang. Namun, sejauh ini belum ditemukan literatur tentang asal-usul kerokan. Metode semacam kerokan juga dikenal di negara lain, seperti di China (gua sha), Vietnam (cao gio), dan Kamboja (goh kyol).

Agar hasil kerokan lebih maksimal, Ia menyarankan agar kerokan dimulai dari atas ke bawah di sisi kanan dan kiri tulang belakang. Selanjutnya diterukan dengan garis-garis menyamping di punggung bagian kiri dan kanan. Alat pengerok dipegang 45 derajat agar tidak terlalu sakit saat bergesekan dengan kulit.

Menurutnya, salah satu unsur dalam kerokan adalah hubungan emosional antara orang yang dikerok dan orang yang mengerok. Hal ini bisa membantu penyembuhan. Ibu yang mengerok anaknya sambil bercerita merupakan unsur biopsikososial dalam pengobatan yang kini digalakkan dalam pengobatan modern.

Jadi, jangan ragu untuk kerokan bila masuk angin atau tidak enak badan. Yang penting jangan dilakukan secara berlebihan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun