Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Melestarikan "KDRT" untuk Pengobatan Masuk Angin

26 November 2017   14:00 Diperbarui: 26 November 2017   14:19 2573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun sudah sering dikeroki, sampai saat ini saya masih suka kelojotan seperti cacing kepanasan saat dikeroki. Kalau kata istri saya, seperti tidak bisa diam seperti belatung nangka. Terutama jika yang mengerok asal-asalan, seakan mengeroki kulit bayi. Bayi badak maksudnya.

Bagi saya, sosok yang cara mengeroki paling nyaman tak lain adalah Ibu. Ia sangat telaten dan lembut saat menggeroki. Tekanan uang logam ke kulit juga pas. Kerokan istri juga nyaman (harus dipuji juga dong, biar nanti mau ngerokin lagi), cuma kadang tekanan kerokannya nggak kira-kira.

Kunci cara mengerok adalah naluri dan perasaan, demikian kata Ibu. Memang tidak ada buku tutorial tentang cara kerokan yang baik dan benar. Tak ada lembaga yang membuka kursus kerokan dengan empat kali pertemuan langsung mahir mengerok.

Dengan perasaan seorang Ibu, ia bisa pas menentukan tekanan dan kemiringan uang logam. Naluri seorang ibu juga menuntunnya membuka ruang dialog tentang banyak hal selama proses kerokan. Saat kerokan saya bisa mendengar nasehat-nasehat dari Ibu. Saya juga tak segan untuk curhat pada Ibu. Kerokan memang bisa mendekatkan dua individu.

Walaupun sekarang saya sudah berumah tangga, saat pulang kampung saya kadang minta kerokan sama Ibu. Angin perjalanan menuju kampung kadang mengganggu kesehatan badan. Bahasa puitisnya, "Pada kerokan kita akan membaringkan bilah-bilah lelah, tubuh perjalanan yang golah diterpa angin kehidupan."

Penulis saat dikeroki oleh Ibu tercinta (Foto Dokumen Pribadi)
Penulis saat dikeroki oleh Ibu tercinta (Foto Dokumen Pribadi)
Saya pernah mengeroki beberapa orang. Responnya berbeda-beda. Ada yang bilang lumayan. Ada juga yang mengeluh, "Kamu ini niat ngerokin apa nyangkul. Emang punggung saya sawah ya." Mungkin saya tipe orang yang tak sabaran. Jarak antar kerokan saya sengaja dibuat lebar agar proses kerokan cepat selesai. Kadang pola kerokannya juga abstrak. Tentu saja ini contoh yang tidak baik.

Bukan sekedar tradisi turun temurun, kerokan ternyata mengandung makna filosofi yang dalam. Antropolog dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Atik Triratnawati dalam Koran Kompas (29/10/2010) menyebutkan, kerokan dipercaya mampu mengembalikan keseimbangan individu, baik fisik maupun metafisik.

Atik menerangkan, orang Jawa menggunakan cara kerokan sebagai penyembuhan holistik, yakni berusaha mengembalikan keseimbangan jagad gedhe (makrokosmos) maupun jagad cilik (mikrokosmos). Artinya, manusia berusaha memperbaiki relasi sosial, baik dengan sesama, lingkungan maupun Tuhan.

Menurutnya, kerokan juga mengandung unsur tolong menolong. Memang penderita mampu mengerok diri sendiri. Namun, ada bagian tubuh tertentu yang harus dikerok oleh orang lain, karena keterbatasan jangkauan tangan manusia. Di tengah masyarakat orang yang sedang masuk angin sering meminta keluarga, saudara atau tetangga untuk kerokan.

Meskipun kerokan merupakan pengobatan yang diandalkan secara turun temurun, namun masih ada orang yang tidak mau melakukannya. Salah satu alasannya, kerokan konon menyebabkan pori-pori kulit menjadi lebar sehingga orang menjadi gampang masuk angin. Kerokan juga dianggap dapat merusak kulit dan bisa membuat pembuluh darah pecah.

Anak ayah belajar ngeroki (foto dokumen pribadi)
Anak ayah belajar ngeroki (foto dokumen pribadi)
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Solo (UNS), Prof. Dr. Didik Gunawan Tamtomo,dr, PAK, MM, M.Kes dalam Koran Kompas (10/04/2012) memaparkan hasil pemeriksaan di laboratorium patologi anatomi UNS menunjukkan tidak ada kulit yang rusak ataupun pembuluh darah yang pecah, tetapi pembuluh darah hanya melebar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun