Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah mendekatkan masyarakat dengan data dan informasi geospasial. Berbagai aplikasi di gawai (gadget) telah memanfaatkan informasi geospasial berupa peta digital untuk memudahkan pengguna melakukan berbagai aktivitas seperti transportasi online, navigasi, pencarian lokasi, dan lain-lain.
Saat memesan ojek online misalnya, pengguna harus memasukkan lokasi penjemputan dan lokasi tujuan. Pada saat pengguna menentukan titik lokasi, maka aplikasi akan terhubung ke peta digital. Pendefinisian lokasi ini bisa diterjemahkan dengan baik oleh aplikasi yang memanfaatkan teknologi Global Positioning System (GPS). Pada saat itulah sebenarnya masyarakat telah memanfaatkan data dan informasi geospasial.
Namun, masyarakat lebih mengenal atau familiar dengan "peta" atau "Google Maps" yang kadang disebut "Mbah Gugel" dibandingkan Informasi Geospasial (IG). Seorang driver Gojek, Piyandoro baru mengetahui bahwa Google Maps termasuk IG, saat berbincang-bincang dengan penulis. Menurutnya, aplikasi ojek online telah mengubah budaya masyarakat dalam memanfaatkan transportasi.
Melalui sebuah aplikasi, Piyan terpandu menuju lokasi penjemputan calon penumpang kemudian mengantarkannya ke lokasi tujuan. Secara otomatis, aplikasi juga menghitung jarak dan tarif yang harus dibayar penumpang. "Kendalanya kalau ada kesalahan titik jemput penumpang karena pengaturan lokasi dari gadget penumpang yang error," ungkap Piyan.
Sebelum era telepon pintar, Piyan mengaku memakai lembaran peta ketika mencari alamat. "Kadang memanfaatkan GPS, Gerombolan Penduduk Sekitar," candanya. Namun seiring perkembangan teknologi, ia lebih banyak memanfaatkan gawai untuk mencari alamat, jalan pintas, atau share lokasi.
Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, definisi geospasial atau ruang kebumian adalah aspek keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu.
Saat menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), pemerintah daerah membutuhkan peta yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Peta yang tidak akurat bisa menyebabkan tumpang tindih kepemilikan dan penguasaan lahan sehingga memicu konflik sosial. Salah satu penyebabnya karena sejumlah instansi memiliki dan membuat peta berdasarkan sektoral dan kepentingan masing-masing.
Karena itu, pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lahirlah Kebijakan Satu Peta (KSP) untuk menyatukan seluruh informasi peta yang diproduksi berbagai sektor ke dalam satu peta secara integratif. Program KSP mengamanatkan Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk menyiapkan peta dasar sebagai acuan standar, sesuai konsep KSP yaitu satu referensi, satu standar, satu database, dan satu geoportal.
Jokowi meyakini KSP sangat penting untuk menyatukan seluruh informasi peta yang diproduksi oleh berbagai sektor ke dalam satu peta secara terintegrasi sehingga tidak terdapat lagi perbedaan dan tumpang tindih IG. Akhirnya, hanya ada satu referensi geospasial yang menjadi pegangan dalam pembuatan kebijakan strategis maupun penerbitan perizinan.
Kepala BIG Hasanuddin Zainal Abidin saat peluncuran Hari Informasi Geospasial (HIG) di Cibinong, Bogor, Jumat (8/9/2017) mengatakan KSP mendorong tersedianya IG yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Peta yang akurat ini dapat menopang berbagai hal terutama terkait perumusan kebijakan maupun pelayanan publik. Salah satu hasil KSP berupa peta Ina Geoportal yang bisa diakses di http://tanahair.indonesia.go.id.