Akhirnya pelayan datang juga membawa beberapa piring berisi, jreng.... jreng.... nasi putih dan lalapan. Ternyata lalapannya berbeda dengan lalapan yang disajikan warung pecel lele: irisan ketimun, touge, dan rebusan daun pepaya. Mantap! Tapi kok pecak belutnya belum datang.
Petani yang tekun menggarap sawah tentunya sangat berharap panen dengan hasil melimpah. Penantian kami tak sia-sia. Saat pecak belut terhampar di depan mata, saya membayangkan ekspresi kebahagiaan petani Desa Nyamplungsari yang esok akan merayakan panen perdana.
Belut goreng terlihat pasrah berendam sambal berkuah santan. Tanpa protokoler, saya menyantap pecak belut. Rasanya mantap surantap. Walaupun sambalnya sangat pedas menurut ukuran lidah saya, namun seporsi pecak belut tandas juga. Nyamleng tenan.
Rasanya saya seakan terlempar ke masa kecil di Purworejo. Waktu itu saya sering memancing belut atau welut di pematang sawah dengan umpan katak kecil. Belut hasil memancing kemudian digoreng ibu dan disajikan dengan sambal terasi ditemani nasi hangat kebul-kebul. Kalau hasil tangkapan banyak, ibu suka membuat pepes belut. Ah...
Suasana RM Bu Niti jadi terasa syahdu, apalagi posisinya berada di dekat persawahan tempat belut-belut berkembang biak dengan damai tanpa terganggu riuh medsos. Dan seusai makan pecak lele, pelayan rumah makan yang suka bergurau menawari kami ditawari buah sawo kecik.
Benar-benar malam yang nyamleng.
---
KRL Commuterline, 18 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H