Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berbagi Daster di Malam Kemerdekaan

16 Agustus 2016   23:05 Diperbarui: 17 Agustus 2016   00:06 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
peserta lomba nasgor memakai pakaian wanita

Gelak tawa dan musik dangdut mengiringi tingkah Bapak-Bapak yang beraksi memasak nasi goreng di halaman Musholla As-Syukur. Suasana menjadi meriah karena peserta lomba harus menggenakan pakaian wanita.

Malam ini, ibu-ibu warga Kampung Kekupu RT 02/04 Kel. Rangkapan Jaya, Kec. Pancoran Mas - Depok harus melepas para suami ke medan laga. Sambil menyelipkan bekal berupa daster atau kebaya.

Lomba seru-seruan tersebut diadakan dalam rangka malam syukuran peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-71. Raut wajah gembira tampak pada wajah ibu-ibu, kapan lagi mereka bisa merdeka menertawakan suami sendiri dan suami orang.

Lomba masak nasi goreng dibagi dalam sembilan kelompok yang terdiri dari tiga orang per regu. Karena keterbatasan tempat, lomba diselenggarakan dalam tiga sesi dengan jeda iklan untuk memberi kesempatan peserta berdandan.

Selain memakai daster, ada saja gaya busana peserta. Mulai dari memakai wig, baju kebaya hingga helm. Mendadak bapak-bapak tampil kewanita-wanitaan. Soal rasa nomer dua yang penting banyak gaya. Chef Farah Quinn pun lewat.

Nasi goreng hasil lomba pun dinilai oleh chef-chef ternama yang sudah malang melintang di warung-warung makan pinggir jalan. Setelah itu disajikan sebagai menu tasyakuran agustusan. Tentu saja didahului dengan doa dan harapan di musim kemerdekaan.

Bapak-ibu, remaja-remaji hingga anak-anak ikut mengantri untuk mecicipi. Ketika dimakan baru ketahuan rasanya dari yang enak hingga keasinan atau pedas tak terkira. Dari bumbu yang tak teraduk rata hingga ada yang menemukan bawang putih setengah utuh.

Tak apalah, yang penting kebersamaan dalam menikmati aneka rasa kemerdekaan.

 

Salam Halah

Depok, 16 Agustus 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun