Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pria Tampil Kewanitaan dan Greget Agustusan

31 Juli 2016   14:44 Diperbarui: 31 Juli 2016   14:57 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi bapak-bapak dalam sepak bola daster (sumber foto: brilio.net)

Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tinggal dua minggu lagi. Namun, kesibukan mempersiapkan perayaan agustusan di tingkat RT sudah terasa. Pembentukan panitia, membuat proposal, pencarian dana, surat edaran ke warga, merapikan gapura, persiapan lomba-lomba, hingga panggung gembira. Sebentar lagi, penjual bendera merah putih akan terlihat di pinggir-pinggir jalan raya.

Agustusan memang pesta rakyat. Semua orang bisa ikut serta dalam beragam kegiatan. Setiap RT saling berlomba agar acara agustusan meriah dan penuh greget. Jangan sampai kalah meriah dari RT sebelah. Aneka lomba dibuat semenarik dan seheboh mungkin.

Mulai dari lomba klasik untuk anak-anak seperti lomba membawa sendok memakai kelereng (eh kebalik), lomba balap karung, lomba memasukkan benang ke botol, lomba makan kerupuk, dan lain-lain. Lomba untuk remaja putri dan ibu-ibu biasanya lebih heboh dan seru: lomba menangkap belut, lomba menendang bola pake terong, lomba memasak, sepak bola pakai sarung dan lain-lain.

Kaum lelaki bahkan dipaksa untuk tampil kewanita-wanitaan di lomba sepak bola pakai daster, lomba bola volley pakai pakaian wanita, lomba masak nasi goreng dengan dandanan ala ibu-bu dan lain-lain. Kegiatan agustusan akan lebih greget bila ada lomba yang unik dan aneh-aneh. Ibu-ibu yang nonton bersorak gembira. Kapan lagi liat suaminya dan suami orang berpakaian wanita dan berdandan menor.

Biasanya lomba-lomba unik ini menarik awak media massa untuk meliput dan menayangkannya. Dari seluruh pelosok Indonesia, para reporter dan jurnalis memburu daerah mana yang punya kegiatan unik menyambut Hari Kemerdekaan RI.

Menjelang agustus ini tiba-tiba saya ingat dengan Surat Edaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tertanggal 23 Februari 2016 yang melarang stasiun televisi resmi menyiarkan atau menampilkan seorang pria yang berpakaian dan berperilaku kewanitaan. Mungkin karena bisa dianggap sebagai seperti promosi elgebeteh.

Terus bagaimana dengan nasib lomba-lomba agustusan dengan peserta pria tampil kewanita-wanitaan? Tapi kan Surat Edaran itu hanya untuk media televisi. Kalau lomba agustusan dan panggung gembira selama ini kan baik-baik saja. Santai aja bro.

Panggung Gembira

Goyangan heboh Elvi Sukaesih yang tampil lipsing mendapat sambutan meriah. Walaupun palsu, penampilan Jeng Elvi selalu ditunggu. Mungkin benar kata bijak dari tukang gorengan yang mangkal depan minimarket bahwa panggung hiburan penuh dengan kepalsuan. Saat turun panggung, Jeng Elvi kembali menghadapi realita, sebagai Mas Susanto (bukan nama sebenarnya) pemilik salon dekat pos ronda.

Walaupun bukan lulusan sekolah seni peran, dengan penuh totalitas Mas Susanto berhasil menduplikasi gaya panggung Ratu Dangdut. Tentu saja lengkap dengan rambut palsu, riasan wajah, dan busana ala Jeng Elvi. Kehadiran Jeng Elvi telah membuat panggung menjadi lebih semarak dan tambah greget.

Tokoh masyarakat, tetua kampung, pemuka agama, perwakilan aparat desa dan tamu undangan terkekeh-kekeh. Ibu-ibu dan anak-anak bersorak heboh sambil tak henti terpingkal-pingkal. Bahkan sampai ada ibu-ibu yang kencing di celana (Lho kok tahu). Singkat kata: semua senang semua gembira. Lupakan sejenak tagihan kredit dan hutang di warung sebelah.

Begitulah suasana panggung hiburan yang menjadi puncak acara kegiatan Agustusan di RT sebelah, RW sebelah, Kampung sebelah, Kelurahan Sebelah. Aura diva Jeng Elvi mampu menyedot perhatian. Seperti laron-laron yang terpukau cahaya neon. Pasti tanggapan para pemirsah akan berbeda jika Mas Susanto tampil menyanyi tanpa menjadi Jeng Elvi. Bisa sunyi sepi sendiri. Halah

Bahkan seminggu sebelum acara, poster-poster yang dibuat dari sofwer potosop beredar di lingkungan RT sebelah dan sekitarnya. Foto Jeng Elvi dengan tulisan besar "Penampilan Heboh Ratu Dangdut Elvi Sukaesih" menjadi penanda eksistensinya. Semua warga membincangkan poster  yang tertempel di tiang listrik maupun tembok-tembok gang.

Panggung hiburan dalam rangka peringatan hari kemerdekaan memang menjadi ajang eksistensi dan aktualisasi diri. Begitu juga dengan Mas Susanto walaupun harus tampil dengan gaya kewanitaan. Tak hanya Mas Susanto, pembaca acara atau istilah kerennya MC kadang tampil gemulai untuk menghibur para permirsah. Begitu juga dengan Pak Hansip dan anak muda lain yang ikut bergaya kewanitaan dalam pentas parodi musik. Eh tong, daster emak mau dibawa kemana? Pinjem bentar mak buat acara agustusan.

Sorak-sorai pemirsah pun gegap gempita membahana badai saat warga pria berubah wujud di panggung jadi wanita. Suit-suit. Pembaca puisi jadi keder karena dianggap sepi. Penampil yang mencoba stand up comedy biar kekinian gagal memancing tawa. Apalagi kata sambutan yang panjangnya bererot dari ketua panitia, kepala RT, kepala RW, tokoh masyarakat, hingga perwakilan aparat kelurahan. Sudah malam pak, sambutannya jangan panjang-panjang.

Hiburan lain yang mendapat sambutan meriah adalah pentas tari anak-anak atau remaja. Hanya saja gaya busana anak-anak lebih sering melampui umurnya. Mereka menari riang gembira walaupun formasinya sering berantakan, dalam iringan lagu-lagu dewasa semacam: sakitnya tuh di sini dari Cita-Citata. Kalau acara agustusan tingkat kampung di syuting tipi swasta mungkin sudah banyak yang diblur.

Beberapa hari ini, setiap kali melintas di depan salon Mas Susanto, saya jadi ingat surat edaran KPI. Apakah di panggung agustusan yang diadakan dengan penuh semangat patriotisme nanti, ia akan kembali tampil sebagai Jeng Elvi Sukaesih atau sebagai seorang Mas Susanto. Tapi sekali lagi, larangan itu hanya untuk stasiun televisi bukan panggung agustusan. Kita tunggu saja para permirsah, Jeng Elvi bisa tampil atau tidak nanti.

Yang jelas surat edaran KPI bisa menjadi senjata buat saya untuk menolak ajakan panitia agustusan untuk ikut lomba sepak bola atau masak nasi goreng dengan memakai kerudung dan daster istri. Ah alasan, bilang saja males.

Salam Halah.

Depok, 31 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun