Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanggul Angin

11 Januari 2016   10:53 Diperbarui: 11 Januari 2016   11:37 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lambat laun, lelehan lumpur itu bergerak menuju memasuki desa. Pepohonan yang dilewatinya perlahan layu, mengering dan tumbang. Lumpur perlahan memenuhi pelataran rumah penduduk, dari setinggi mata kaki hingga menenggelamkan desa. Penduduk berbondong-bondong mengungsi meninggalkan rumah dan harta yang tak sempat diselamatkan. Lumpur terus meluap dan menenggelamkan desa-desa lainnya. Tanggul Angin perlahan cemas.

-- oOo --

Tanah adalah kesabaran, tempat banyak hal berawal dan berakhir dalam gumpalan misteri-Nya. Aliran lumpur terus merangsek perlahan menuju Tanggul Angin. Tanah yang cair itu perlahan meruntuhkan kekokohan tembok yang terbuat dari bekuan angin itu. Keseimbangan alam goyah. Kearifan semesta resah. Tak lama lagi, kemakmuran wilayah gemah ripah itu sepertinya hanya akan tinggal sebagai kenangan.

Dengan segenap perih yang menggelayuti hati, penduduk desa Tanggul Angin dan sekitarnya segera mengungsi. Luapan lumpur semakin meluas. Lelehan air mata penduduk desa makin tak terbendung. Lelehan lumpur dan air mata kemudian bercampur menggenangi hampir seluruh penjuru negeri.

Maka terhamparlah pemandangan yang memilukan itu. Di setiap sudut negeri, terlihat tenda-tenda pengungsi dengan tangis bayi yang memecah kepiluan. Kanak-kanak kehilangan tawa riangnya dalam tatapan kosong orang tua. Tumpukan batu-batu dan karung-karung berisi tanah tersusun di sana-sini, menjadi bendungan yang menjaga keutuhan tenda-tenda, harapan terakhir yang tidak boleh koyak.

Entah sampai kapan negeri itu akan tergenang lumpur. Mungkin hingga pengembara sakti itu datang lagi, mengusir lumpur dengan kibasan tangannya dan membangun sebuah tanggul sebelum kembali mengembara. Tanggul itu mungkin tidak lagi dibangun dari angin yang membeku tapi dari airmata. Dan seluruh penduduk negeri akan menyebutnya sebagai Tanggul Airmata.

-- oOo --

Depok, Maret 2007 – 2010

*SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Bergiat di Paguyuban Sastra Rabu Malam (Pasar Malam). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun