Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanggul Angin

11 Januari 2016   10:53 Diperbarui: 11 Januari 2016   11:37 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perutnya yang sudah membesar tak memungkinkannya melangkah terlalu jauh meninggalkan tepian desa. Di bawah rumpun bambu di tepian hutan tak jauh dari desanya, perempuan itu mencoba bertahan hidup. Perempuan memang sosok perkasa dengan daya hidup yang tak pernah lelah. Dan berkah yang melimpah dari hutan selalu menyisakan ruang bagi sebuah kehidupan baru.

Malam kembali pecah oleh tangis seorang bayi. Seberkas cahaya memancar dari tubuh jabang bayi, menerangi segenap malam. Dalam ketakjuban, perempuan itu menjerit ketika melihat jabang bayi yang dilahirkannya ternyata buruk rupa.

Dalam pantauan mata penduduk desa, bayi itu tumbuh sebagai bocah yang tidak hanya buruk rupa tapi bertubuh cebol. Dalam cemoohan kanak-kanak, ia disebut Bocah Bajang. Dan sejak itu hati Bocah Bajang sudah akrab dengan luka.

Waktu terus bergulir. Suatu ketika, di bawah rumpun bambu tempat ia dilahirkan, Bocah Bajang seorang diri memakamkan Ibunya yang meninggal. Sebatang lidi ditancapkan di atas gundukan tanah merah sebagai penanda. Sebelum berlalu meninggalkan desa yang tidak juga menerima kehadirannya, Bocah Bajang bergumam, “Barangsiapa berani mencabut batang lidi ini, maka seluruh desa akan menuai bencana.”

Gumam itu didengar oleh semesta dan mengabarkannya pada penduduk desa dalam dongeng di pelepah-pelepah malam sebelum tidur. Dongeng yang mengajarkan setiap orang untuk menghargai kehidupan dan saling berbagi. Dongeng yang membuat nyali penduduk ciut untuk coba-coba. Apalagi sebelumnya sudah beredar dongeng serupa, tentang air yang mengucur deras dari sebatang lidi yang ditancapkan bocah buruk rupa. Aliran air itu menjadi banjir besar yang menenggelamkan desa, menyisakan seorang nenek dan seorang bocah yang mengapung selamat di atas lesung.

Syahdan, setiap kali purnama menerangi malam, penduduk desa akan melihat sosok manusia bertubuh cebol bersimpuh di bawah rumpun bambu itu. Pada pagi berikutnya, gundukan tanah itu akan bersih dari rumput dan dedaunan, ditemani sebatang lidi yang kokoh berdiri. Dan sosok itu akan hilang tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Cerita tentang sebatang lidi itu pun menyebar menjadi dongeng ke penjuru negeri.

-- oOo --

Setiap wilayah mempunyai misteri tersendiri. Misteri yang bisa ditautkan dengan misteri-misteri yang mengelilinginya. Dongeng tentang sebatang lidi itupun menembus tembok kerajaan dan ditelaah secara seksama oleh salah satu petinggi. Betapa girang hatinya begitu mengetahui bahwa rumpun bambu tempat sebatang lidi itu tertancap ternyata berada tak jauh dari desa Tanggul Angin. Keremangan malam seketika membisikkan rencana jahanam.

“Barangsiapa berani mencabut batang lidi ini, maka seluruh desa akan menuai bencana.” Kekuatan Tanggul Angin pasti akan luluh jika keseimbangan alam disekelilingnya ternodai. Maka dikirimkannya seorang utusan sakti menuju rumpun bambu itu untuk sebuah tujuan yang sudah bisa ditebak.

Dalam kesunyian malam, sebuah tangan menyibak gundukan tanah yang penuh pelepah dan daun-daun bambu. Sebait mantra membius sebatang lidi. Segala kekuatan hitam seketika memenuhi ruang. Burung hantu terbang menyibak lalu lalang ratusan kalong. Seisi hutan terbangun, riuh menjerit dan lari tunggang langgang. Mimpi penduduk desa koyak oleh bunyi kentongan bertalu-talu. Firasat buruk seketika menyelimuti dingin malam.

Dongeng pengantar tidur terbangun dihentak kenyataan. Gumam itu telah dilanggar. Sebatang lidi itu tercabut dari pusaranya. Seorang ibu yang terbujur telah diganggu ketenangan tidurnya. Tak ada air yang memancar memang, tapi lelehan lumpur perlahan keluar dari lubang bekas sebatang lidi yang tertancap. Perlahan tapi pasti, lelehan itu terus keluar. Udara panas menyeruak seiring lelehan lumpur. Telapak tangan yang mencoba membungkamnya akan melepuh. Sebongkah batu yang ditimbun batu-batu luluh setelah sesaat mampu menutup alirannya. Segala upaya sia-sia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun