[caption caption="kursi minimalis di Stasiun Manggarai (foto indra/grup fb krlmania)"][/caption]
Beberapa deret bangku panjang raib dari peron Stasiun Manggarai. Sebagai gantinya terpasang palang tiga besi berkaki dua. Karena tidak ada petunjuk pemakaian, beberapa penumpang menduganya sebagai tempat menaruh koran hingga tiang jemuran.
Keberadaan benda asing itu menjadi perdebatan seru di grup facebook pengguna KRL. Saya yang “wong ndeso dan kurang piknik ini” akhirnya mengetahui fungsi benda itu sebagai tempat bersandar. Menurut penumpang yang sering pelesir di luar negeri, keberadaan kursi sandar di stasiun kereta sudah lazim dan bukan hal yang aneh.
Namun ketika kursi sandar itu ujug-ujug dipasang di stasiun Manggarai tanpa ada petunjuk pemakaian, banyak penumpang yang terkenyut-kenyut eh terkejut. Entah bagaimana awalnya, dari perdebatan itu muncul istilah gegar budaya. Kursi berdesain futuristik minimalis ala film Star Trek itupun seketika mendapat julukan Kursi Gegar Budaya.
Gegar Budaya (culture shock) sendiri artinya perubahan nilai budaya seiring dengan perkembangan jaman dan wawasan yang makin berkembang. Kondisi ini biasanya terjadi pada orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke lingkungan yang baru. Ada perasaan disorientasi, kebingungan, dan perubahan emosi yang terjadi ketika seseorang berkunjung atau tinggal di budaya yang berbeda.
Lepas dari tepat tidaknya julukan itu, yang jelas banyak penumpang mempertanyakan fungsi dan keberadaan kursi sandar itu, “Di dalam kereta berdiri kok di peron harus berdiri juga.” Pertanyaan lainnya: bagi penumpang yang tinggi badannya tidak ideal, bagian tubuh mana yang harus disandarkan. Ada juga penumpang yang tertangkap kamera asyik nongkrong di kursi sandar.
Keberadaan bangku panjang di stasiun transit seperti Manggarai menurut Corcom Daop 1 PT KAI, Bambang S Prayitno akan mengurangi space penumpang. Penumpang commuter line tidak mungkin bersantai-santai di stasiun. Mereka butuh waktu cepat, langsung transit kereta dan jalan. (detikcom, 13/10).
Dari sudut pandang optimis, keberadaan kursi tersebut semacam komitmen dari operator bahwa menunggu KRL sekarang tak lagi lama. Tentu saja, syarat dan ketentuan berlaku: jika tidak ada gangguan yang menyebabkan keterlambatan. Dan jika kereta yang datang penuh, announcer menganjurkan agar penumpang tidak memaksakan diri dan menunggu kereta berikutnya. Jika masih penuh juga, masih ada KRL yang akan lewat. Ya mungkin 3-4 kereta lagi.
Bagi penumpang yang suka eksis, stasiun bukan hanya tempat menunggu kereta. Stasiun menjadi tempat untuk bersantai ria, hunting foto, kumpul bareng, kopi darat, nongkrong, menunggu teman atau pacar. Seiring perkembangan jaman, stasiun memiliki banyak fungsi lebih dari sekedar menunggu kereta.
Di akhir pekan, penumpang KRL didominasi oleh orang tua yang membawa anak-anak. Mereka memanfaatkan kereta sebagai sarana transportasi murah meriah menuju tempat wisata. Begitu transit di Manggarai mereka butuh tempat duduk, sementara desain Kursi Gegar Budaya nampak tidak sesuai bagi ibu-ibu dan anak-anak.
Selain itu, kursi minimalis itu juga tidak ramah bagi penumpang prioritas. Memang masih ada kursi panjang di ujung peron. Namun jumlah itu tentunya tidak memadai. Apakah penumpang harus direpotkan untuk menuju kursi di ujung rangkaian?