Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Saldo (Bagian 1)

14 Mei 2015   22:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:02 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paijo tertegun menatap sederet angka yang tertera di layar mesin pengecek saldo. Tiga kali ia menempelkan Kartu Multi Trip (KMT). Saldonya tetap sama: 247.000.

Selama menjadi pengguna Kereta Rel Listrik (KRL) belum pernah saldo tiket elektroniknya lebih dari empat puluh ribu. Paijo tak menyangka, KMT yang ditemukannya dalam perjalanan menuju Stasiun Gondangdia menyimpan saldo menggoda.

Di saat yang sama, saldo KMT miliknya sangat mengenaskan: dua belas ribu rupiah. Hanya selisih seribu rupiah dari saldo minimal. Saatnya mengisi ulang agar tidak terkena denda suplisi lima puluh ribu rupiah.

Antrian di depan loket nampak mengular. Paijo mendesah sambil mengibaskan KMT tak bertuan. Tak ada identitas maupun foto pemilik. Satu-satunya jejak hanya goresan tanda tangan.

Jika harus mengembalikan pada pemilik sah, bagaimana cara menyusurinya? Apakah ia harus mematuhi ketentuan yang tertera di balik KMT: Barang siapa yang menemukan kartu ini harap mengembalikan ke stasiun terdekat.

Kebimbangan menguasai pikiran. Ketika nanti pengumuman penemuan KMT menggema di Stasiun Gondangdia, jangan-jangan banyak orang yang mengaku kehilangan. KMT ini bisa jatuh ke tangan orang yang tidak berhak.

Seketika pikirannya rusuh. Ah, mengapa bukan aku saja yang menggunakannya. Lumayan bisa naik KRL gratis selama satu setengah bulan.

Paijo mencoba menghalau pikiran buruk dan mengukuhkan pendirian. Ia tak boleh menggunakan barang yang bukan miliknya.

Ia lekas merogoh saku bajunya, tak ada selembar uangpun. Dompet pun mengangga menjulurkan dua lembar uang sejumlah tiga puluh ribu rupiah. Alhamdulillah masih bisa isi saldo dan naik angkot ke rumah.

Saat berdiri di ujung antrian penumpang yang membeli tiket, telepon genggamnya bergetar. Gambar amplop putih berkedip-kedip di layar. Pesan dari Nuraini, istrinya terbuka.

"Pa, nanti mampir ke pasar. Beli jeruk Medan buat Intan, 2 kilo yang gede-gede."

Deg! Paijo tertegun. Dua kilo jeruk harganya dua puluh lima ribu. Sisa uang lima ribu tak mungkin digunakan untuk isi ulang KMT dan naik angkot. Tapi rasanya tak tega menolak permintaan istrinya.

Seketika, Paijo teringat pada KMT temuan di saku bajunya. Sekali ini saja, tak apalah memakainya. Toh hanya berkurang sedikit. Pemiliknya pasti bisa memakluminya, pikir Paijo.

Paijo pun keluar dari antrian. Tubuhnya bergerak menuju deretan pintu masuk.
Bersambung ke Bagian 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun