Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Nganufacturing Hope: Wesi Gung Susuhing Angin

18 Juni 2012   06:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:50 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika memasuki peron stasiun Depok Lama, saya mulai mengamati dan mencatat beberapa hal penting. Dorongan penumpang membuat saya gagal memasuki sesaknya pintu KRL Ekonomi. Rupanya saya kalah sigap dibandingkan dengan ibu-ibu yang daya dorongnya ternyata sangat kuat. Baru pada kereta ketiga, setelah menunggu lebih dari satu jam, saya bisa merangsek masuk.

Di dalam kereta, saya berdiri menjaga pijakan. Tubuh-tubuh himpit menghimpit, semakin bertambah sempit karena harus berbagi dengan keranjang buah, lemari, kursi bambu dan lain-lain. Kipas angin yang tidak berputar menambah gerah suasana. Beberapa keluhan dan desah nafas resah merangsek ke telinga. Inikah wajah sebenarnya negeri kita tercinta?

Keributan kecil terjadi ketika arus keluar masuk penumpang tak terkendali. Dalam kondisi seperti ini senggolan tak sengaja bisa terjadi. “Kalau mau enak jangan naik kereta ekonomi. Kereta murah kok mau nyaman?” hardik seorang penumpang. Dalam kondisi seperti ini kalau tidak sabar pasti gampang tersulut amarah.

Semoga kata-kata itu tidak terlontar oleh pejabat publik apalagi operator. Kalau pendiri Google mendengarnya pasti dia akan mengurut dada. Maklum, google kan selalu memberi jawaban dari pertanyaan kita secara gratis, tanpa meminta upah. Nyatanya perusahaan raksasa itu tidak juga bangkrut, malah tambah kaya raya.

Saya jadi ingat, aku email saya yang berbayar dengan berlangganan dari perusahan penyedia layanan internet lokal kapasitasnya hanya 20 MB, hingga saya harus sering menghapus email tak penting. Sementara akun email yang gratisan seperti yahoomail dan gmail, justru tak habis-habis kapasitasnya.

Ternyata, proses turun dari kereta tak kalah hebohnya dengan naik kereta. Saya harus menyibak tubuh-tubuh. Begitu sampai di Stasiun Cawang, saya baru sadar bahwa dompet saya raib. Pasti pencopetnya akan terkejut dan tak percaya melihat KTP, SIM dan tanda pengenal lainnya. Hari ini, korbannya adalah seorang Menteri BUMN.

Untung saja, handphone aman karena saya genggam erat. Saya jadi bisa mengontak sahabat saya, Direktur Utama perusahaan kipas angin “Super Sejuk.” Saya tanya bisa nggak bantu sekian ratus kipas angin untuk dipasang di kereta. Nanti kompensasinya bisa pasang iklan di dalam kereta atau stasiun. Teman saya menyambutnya dengan gembira.

Itu salah satu langkah kecil yang bisa segera saya lakukan. Beberapa rencana besar berkelebat dalam benak saya. Ternyata sidak yang tepat bisa memunculkan banyak inspirasi dan solusi. Untuk selanjutnya saya harus bertemu dengan jajaran Direksi PT KA, membicarakan beberapa rencana. Tak perlu menunggu besok, sekarang juga saya harus kembali naik kereta dan turun di Stasiun Juanda.

Dalam sidak di dalam sesak kereta itulah kisah Bima mencari ”kayu gung susuhing angin,” itu kembali terlintas. Dalam perjalanan dan perjuangan tak kenal lelah, akhirnya Bima berhasil menguak rahasia dibalik kata itu. Perintah yang semula hanya semacam jebakan membuat Bima memperoleh pencerahan.

Kayu, dalam bahasa jawa juga disebut kajeng yang sinonim dengan karep, karsa, kemauan, cita cita, intensi dan doa. Gung, adalah agung yang artinya besar. Susuhing Angin atau sarang angin, dalam bahasa spiritual berarti pusat pernapasan. Jadi ”Jika kamu memiliki cita cita (kajeng) yang besar (Agung), carilah itu lewat pusat pernapasanmu!”

Keberadaan angkutan massal yang murah meriah seperti kereta bagi rakyat kecil adalah tumpuan nafas dan harapan. Kecepatannya melibas kemacetan ibukota sangat diharapkan. Selain itu kereta juga ramah lingkungan bisa menjadi pilihan agar Jakarta tak jadi Megapolutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun