Mohon tunggu...
Setiadi Sejati
Setiadi Sejati Mohon Tunggu... wiraswasta -

www.setiadisejati.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

100 Tahun Istana “Lawas” Lima Laras! Peninggalan Kerajaan Melayu

16 Juli 2012   04:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:55 1455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Setiadi R. Saleh, S.Sos.,

I

stana Lima Laras adalah istana lawas yang sudah berusia 100 tahun [2012-1912]. Istana ini tidak begitu populer seperti halnya istana-istana peninggalan Kerajaan Melayu di Sumatera Utara khususnya Istana Maimun Medan. Jangankan orang dari luar daerah, mereka yang berasal dari desa setempat saja tidak tau perihal keberadaan istana Lima Laras. Sebab, pada umumnya mereka menyebut Istana Lima Laras dengan sebutan rumah datuk atau rumah raja, bukan istana.

Dahulu istana Lima Laras disebut Istana Niat Lima Laras. Lima Laras adalah nama sebuah desa yang terletak di Kec. Tanjung Tiram, Kab. Batu Bara, Sumatera Utara. Sedangkan nama dari Istana Niat Lima Laras. Lebih didasarkan kepada sebuah niat, iktikad dan nazar dari Datuk Muhammad Yuda, ditulis pula Datuk Matyoeda Sridiraja, Raja dari Kerajaan Lima Laras XII. Matyoeda adalah anak dari Datuk Haji Djafar Raja Sri Indra. Datuk Matyoeda memiliki cucu yang bernama Datuk Muhammad Azminsyah, 72 tahun, yang sampai sekarang masih hidup dan menjadi “penjaga” sekaligus pemangku adat Melayu Istana Lima Laras. Dari beliaulah pengunjung bisa mendapatkan informasi seputar Istana Lima Laras. Sebab, sumber narasi terpilih berdasarkan literatur yang khusus membahas dan mengupas Istana Lima Laras dan Kerajaan Lima Laras, boleh dikata sangat sedikit dan dangkal.

Seperti yang semula diutarakan, Istana Niat Lima Laras dibangun dan didirikan atas manifestasi niat dan nazar Datuk Matyoeda, manakala perniagaannya “selamat” sekembalinya dari Malaka [Penang] menuju ke Asahan, tepatnya Batu Bara. Perniagaan Datuk Matyoeda berupa kopra, damar, dan rotan yang dibawa dengan kapal besar sampai ke Malaka, Singapura, Thailand.

Perniagaan yang “selamat” di sini maksudnya, lolos dari ancaman pemerintahan kolonial dan VOC. Pada masa itu, terjadi rivalitas antara VOC dan Raja Kerajaan Lima Laras XII. Sehingga pemerintah kolonial Hindia Belanda terang-terangan mengeluarkan maklumat agar Raja Datuk Matyoeda menghentikan seluruh perniagannya.

Nazar serta niat Datuk Matyoeda terpenuhi. Rombongan dan dagangannya selamat membawa hasil gemilang. Kemudian dengan berbekal hasil perniagaan sebesar 150.000 gulden dan tenaga ahli dari negeri Tirai Bambu. Didirikanlah Istana Lima Laras. Datuk Matyoeda beserta keluarga kerajaan menempati istana tersebut lebih kurang selama 5 tahun [1912-1917].

Akses Menuju Istana Lima Laras

Lantaran kurang populer, saya mencoba menanyakan kepada teman atau kerabat yang tinggal di Kisaran, Tebing Tinggi, Lubuk Pakam atau wilayah sekitar perihal rute kendaraan umum agar sampai di lokasi tujuan Istana Lima Laras. Ternyata banyak yang kurang paham. Lain halnya apabila kita menggunakan kendaraan pribadi. Dari Kota Medan, kita dapat leluasa menyusuri jalan darat menuju Kota Lima Puluh, lalu ke Labuhan Ruku kemudian ke Sungai Bejangkar, Batu Bara, Tanjung Tiram. Waktu dan jarak tempuh Medan-Tanjung Tiram jaraknya sekitar 136 km, 4 jam.

Kalau dari tempat saya tinggal di Perumahan Perhubungan Indah Blok C-16, Desa Kolam, Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deli Serdang bisa menyusuri jalan pesisir pantai mulai dari Percut---Pantai Labu---Pantai Cermin---Teluk Mengkudu---Tanjung Beringin---Kuala Tanjung---Tanjung Tiram.

Sementara bagi yang ingin mencoba naik kendaraan umum [bus] dari Medan terminal Amplas, naik bus Sartika-Tanjung Tiram. Kalau dari Kisaran bisa menggunakan Merpati Tour jurusan Sei Bejangkar Batu Bara. Ongkosnya Rp. 25.000, turun di Lima Laras, lalu naik ojeg. Orang situ dan orang Sumatera Utara pada umumnya menyebutnya RBT [rakyat banting tulang]. Ongkosnya Rp. 10.000,- atau bisa naik beca [becak]. Istana Lima Laras terlihat di tepi jalan. Persis di depan Istana Lima Laras terdapat Masjid Al-Mukarram.

Lain halnya apabila menggunakan jasa angkutan kereta api. Naik K.A.ekonomi Lancang Kuning jurusan Medan-Tanjung Balai, turun di Sei Bejangkar, ongkosnya Rp. 14.000,- Lalu dilanjutkan dengan angkutan menuju desa Lima Laras.

Istana Lima Laras terletak di perkampungan nelayan. Dulunya tempat ini sangat ramai disinggahi kapal-kapal perniagaan. Sekarang tempat ini [pelabuhan Lima Laras] seperti perkampungan nelayan biasa dengan kapal-kapal motor berukuran kecil. Sementara dermaga Batu Bara masih ramai dan merupakan jalur terbuka bagi pelayaran dari dan menuju Port Klang Malaysia.

Jadi, pemberitaan dan tulisan yang menyebutkan akses menuju desa lima laras sulit. Sungguh suatu hal yang keliru lagi menyesatkan.

Visi Baru, Terlibat dan Peduli

Tulisan di media cetak dan online seputar Istana Lima Laras pada umumnya membahas sisi kemuraman dari istana tanpa memberi solusi bagaimana agar situs peradaban tersebut dapat diselamatkan, minimal untuk 100 atau 1000 tahun lagi ke depan dimulai dari saat ini. Perawatan serta perbaikan Istana Lima Laras pernah dilakukan oleh Kanwil Depdikbud Sumut sekitar 32 tahun silam [1981] yang kala itu menelan biaya Rp. 234.000.000,-

Naluri saya mengatakan, Istana Lima Laras bukannya kurang mendapat perhatian serius dari pemerintahan Kab. Batu Bara dan provinsi Sumatera Utara. Melainkan ada sejumlah pekerjaan rumah pemda setempat yang belum tuntas dan harus diselesaikan seperti pembangunan infrastruktur jalan dan sarana publik.

Banyak yang dapat kita lakukan untuk terlibat dan peduli Istana Lima Laras. Kata kuncinya “Mau.” Harus ada upaya kontrak sosial antara warga, komunitas, dan civitas akademika untuk sama-sama bahu-membahu mengumpulkan dana. Katakanlah satu orang seribu rupiah. Saya percaya tidak sampai enam bulan sudah bisa terkumpul dana 100 juta.

Sumbangan sukarela ini perlu dilakukan dengan cara-cara pro aktif di setiap instansi, sekolah, komunitas, warga. Pendek kata, dikoordinir, dicatat, dan bisa dipertanggung-jawabkan. Jangan sampai dana yang dikumpulkan malah sia-sia karena tidak bisa ditindaklanjuti. Dalam ini keluarga besar keturunan Raja Lima Laras harus menunjuk satu wakil yang bisa dipercaya mengemban visi merenovasi Istana Lima Laras. Jika visinya sudah jelas dengan sendirinya misinya pun akan terarah.

Di sinilah arti penting peduli dan terlibat untuk membuat Istana Lima Laras sebagai ikon tempat alternatif wisata. Bayangkan, apabila Istana Lima Laras tertata cantik, sarana jalan apik, lalu jermal-jermal dan dermaga kecil tempat nelayan merapat bersih. Burung-burung srigunting terbang berputar, camar merendah mengincar ikan, dan suara desir air menerpa papan rumah nelayan. Artinya, semua bisa satu paket. Rumah nelayan bisa dijadikan tempat penginapan dan sumber penghasilan. Belum lagi jika kita bicara wisata nelayan seperti memancing ikan, pesona sungai, laut, dan lain sebagainya.

Siapakah yang untung dalam hal ini? Semua elemen masyarakat mulai dari pemerintahan, warga, skala yang lebih luas lagi tentu masyarakat Sumatera Utara, Indonesia, dan dunia. Jangan pernah mengabaikan fakta penting bahwa kerajaan Melayu termasuk kerajaan yang berpengaruh di dunia. Mulai dari bahasa dan sastra, perdagangan, arsitektur, kapal, musik, dan teramat banyak untuk disebutkan.

Deskripsi Kondisi Kini Istana Lima Laras

Apabila kita sampai di depan Istana Lima Laras ada sebuah plank dengan tulisan: “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktoral Jenderal Kebudayaan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi D.I Aceh dan Sumatera Utara Istana Lima.”

Sekalipun tampak kurang terawat, sisa-sisa keindahan Istana Lima Laras yang berlantai 4 tersebut masih terlihat. Pengunjung bisa melihat dekorasi dominan warna hijau, kuning, motif ukiran yang lebih mirip kaligrafi. Keistimewaan Istana Lima Laras dan istana-istana kerajaan Melayu pada umumnya, terutama yang berbentuk Rumah Panggung adalah pada bagian depan mirip seperti anjungan sebuah kapal besar. Lalu kubah dan atap bangunan serta jendela dan panjang kedua sisi istana adalah sama lebar. Lalu pilar-pilar penyangga yang kesemuanya menyiratkan simbol dan arti. Istana Lima Laras berdiri di atas tanah seluas 102 x 98 meter dan lebar dari ukuran istananya 40 x 35 meter persegi.

Pada pintu utama yang tampak renta dan kelabu disangga dan ditopang oleh kayu agar bisa dibuka dan tidak roboh. Sebagian dari sisi dinding Istana Lima Laras tampak kusam dan lapuk. Anak tangga sebagian pun ada yang hilang. Jika kita menaiki dan menuruni anak tangga lalu menghitungnya, hitungannya tidak pernah sama. Kemudian di dalam ruangan tampak kosong, bahkan kursi/singgasana/mihrab tempat duduk baginda raja tidak ada. Ironik dan memprihatinkan sekaligus “pekerjaan rumah” kita bersama yang mengaku cinta sejarah dan fokus kepada Kerajaan Melayu.

Dan kemudian, apabila tapuk mata dijuruskan sampai ke ufuk pandangan. Tidak berapa jauh dari istana terdapat peristirahatan dan pembaringan terakhir, kuburan dari Datuk Matyoeda beserta keluarga dan keturunannya. Dahulu masih banyak kijang dan rusa yang “bermain-main” di sekeliling istana.

Seperti istana kerajaan Melayu di manapun di seluruh dunia, meriam pasti ada di depan istana. Uniknya, meriam di Istana Lima Laras pada masanya bukan digunakan untuk “memukul” musuh. Melainkan untuk mengumpulkan rakyat apabila ada sabda, titah dan perintah sang raja.

Pada malam hari lampu-lampu di Istana Lima Laras tetap menyala. Hal ini menandakan bahwa pihak keluarga kerajaan Lima Laras masih peduli dan berusaha bertahan sambil meyakini bahwa suatu hari nanti Istana Lima Laras kembali dikenal luas.

Menurut Datuk Muhammad Azminsyah selaku pemangku adat Kerajaan Lima Laras dan sekaligus sebagai referensi hidup [eye witness] yang perkataannya banyak dikutip oleh orang dan media massa cetak/elektronik/online menyebutkan:

Ia menyimpan sebagian kecil benda berharga peninggalan Kerajaan Lima Laras seperti tempayan ukiran naga, barang pecah-belah, pedang dan tombak. Istana Lima Laras memiliki empat koridor utama yang masing-masing mengarah ke Utara, Timur, Selatan, dan Barat. Perlu diketahui, dahulu kala Istana Lima Laras menghadap langsung ke jalur sungai/laut di mana saat itu laut adalah posisi strategis untuk melakukan penyerangan dan pertahanan terhadap musuh serta perniagaan. Istana Lima Laras 4 lantai. Pada lantai 1 sudah disemen, sementara lantai 2 masih beralaskan kayu. Di dalam istana ada satu tangga unik yakni tangga melingkar, berputar, dan kadang-kadang disebut tangga berpusing yang menjadi penghubung antar lantai dalam ruangan istana. Jumlah anak tangganya 27. Konstruksi Istana Lima Laras dikerjakan oleh tenaga ahli dari negeri tirai bambu. Tidak diketahui dengan pasti siapa nama arsiteknya dan berapa orang tenaga kerjanya. Istana Lima Laras memiliki 28 pintu dan 66 jendela. Istana yang dibangun pada tahun 1907 dan selesai 1912.

Profil Kabupaten Batu Bara

Kabupaten Batu Bara merupakan hasil dari pemekaran Kabupaten Asahan. Kab. Asahan terdiri dari 20 kecamatan dan 276 Desa. Kab. Batu Bara terdiri 7 kecamatan, 98 desa, 7 kelurahan.

Kab. Asahan beribukota di Kisaran dan Kab. Batu Bara beribukota di Lima Puluh. Batu Bara sudah ada sejak tahun 1720 M. Terdapat lima suku Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Lima Puluh, dan Bogak yang dipimpin oleh seorang datuk [semacam kepala suku, kedudukannya di bawah sultan atau raja]. Dahulunya Batu Bara adalah bagian dari Kerajaan Siak dan Johor.

Kabupaten Batu Bara memiliki keistimewaan seperti potensi sumber alam di bidang perkebunan, pertanian, perikanan dan kelautan, peternakan, rotan, ikan asin, kuda, kain bertabur, benang emas, garam, dan pariwisata sejarah.

Bahkan, Kabupaten Batu Bara telah lama dikenal sebagai pengekspor aluminium dengan BUMN PT. Indonesia Asahan Aluminium [INALUM].

Penutup

Sekarang kita tidak perlu lagi “bertikam lidah,” dan saling bertengkar debat untuk mengurai “mata rantai suci” dari Kerajaan Lima Laras dan Istana Lima Laras. Fokuskan apa yang terpenting terlebih dahulu yakni upaya penyelamatan Istana Lima Laras. Dengan demikian dalam rangka 100 tahun umur Istana Lima Laras penulis yakin kita bisa berbuat yang terbaik untuk menyelamatkan aset peradaban.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun