[caption caption="Nandang Rustandi (51) (berambut gondrong) bersama beberapa murid-muridnya yang merupakan bekas pengguna narkoba dan bekas narapidana di Gunung Cidegdeg, Kampung Biru, Desa Mandalasari, Kecamatan Cikancung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat"][/caption]Mungkin sosok Nandang Rustandi (51) tak begitu dikenal masyarakat luas. Namun, di Kecamatan Cikancung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, sosok Nandang yang berambut gondrong, berkulit sawo matang dengan tinggi badan tak lebih dari 170 sentimeter cukup tersohor. Ia salah seorang mantan pengguna narkoba dan mantan narapidana yang dulunya terkenal sangat bengis.
Berulang kali ia masuk keluar penjara pada era 1970-an hingga 1980-an. Berulang kali pula ia terjebak kasus yang sama. Kasus narkoba dan kriminalitas lain dari mulai yang ringan hingga yang berat pernah ia lakoni.
Nandang, mengenal narkoba sejak berumur 14 tahun. Pertama kali, ia mencicipi narkoba jenis ganja. Kala itu, harga ganja masih terhitung murah. Untuk satu empel atau bisa dibuat 8 linting ganja hanya seharga Rp. 150. Ia juga sempat menjadi dokter (istilah level tertinggi pengedar ganja, Red).
Namun siapa sangka, Nandang kini justru menjadi seorang alim ulama. Ia mendapatkan hidayah untuk menjadi orang yang memiliki kepribadian dan berakhlakul karimah dua minggu sekeluarnya dari penjara pada tahun 1992.
Ia bahkan mendirikan Paguron dan Paguyuban Budaya Gerantang Kusumah. Paguron dan paguyuban yang ia dirikan tak lain adalah untuk melestarikan dan mengajarkan agama, budaya asli sunda, mulai dari pencak silat hingga berbagai kesenian sunda lainnya. Serta ketekadan-nya untuk menumbuhkan rasa kepancasilaan masyarakat Indonesia.
Muridnya kini mencapai lebih dari 400 orang mulai dari perempuan hingga laki-laki yang tersebar se-Jawa Barat. Uniknya, 80 persen dari muridnya adalah mantan pengguna narkoba dan mantan narapidana. Oh iya, paguron dan paguyuban miliknya juga sekaligus tempat bagi pengguna narkoba yang ingin terbebas dari jeratan barang haram. Atau sering disebut sebagai tempat rehabilitasi.
Paguron dan Paguyuban Gerantang Kusumah ia dirikan berkat ayahnya yakni Sutisna Mubarok (almarhum) yang menitipkan kepadanya untuk dilestarika. Sutisna Mubarok merupakan guru besar pencak silat yang mengajarkan seni bela diri yang dipadukan dengan aturan keagamaan.
Paguron dan Paguyuban Gerantang Kusumah miliknya pun memiliki lambang segilima. Bukan kebetulan, lambang tersebut ia buat dari filosofi Pancasila dan kewajiban umat Islam untuk bersembahyang lima waktu kepada Allah.
"Awal mula saya mendirikan Gerantang Kusumah ini ketika saya mulai pindah dari Bandung ke Kampung Biru, Desa Mandalasari, Kecamtan Cikancung pada tahun 1998 lalu," ujarnya di padepokan miliknya, belum lama ini.
Di padepokan tersebut, sejumlah muridnya yang sebagian besar mantan pengguna narkotika dan narapidana setiap harinya ia ajarkan pencak silat, salat dan juga mengaji. Ia juga mengajarkan murid-muridnya belajar bercocok tanam untuk mengendalikan hawa nafsu duniawi.
Banyak para pecandu narkoba dan mantan narapidana yang sering mendatanginya. Bukan hanya untuk belajar masalah keagamaan saja, namun ingin benar-benar sembuh dari penyakit kecanduan narkoba atau penyakit hati yang menyebabkan seseorang tersebut harus meringkuk di jeruji besi.
Bahkan tak jarang, jika sejumlah instansi atau balai rehabilitasi pencandu narkoba di Indonesia sering menitipkan para pecandu narkobanya kepada Nandang. Nandang memang dapat dikatakan cukup berhasil untuk mengobati para pecandu narkoba tersebut.
Bukan dengan cara yang aneh-aneh untuk pengobatan yang ia berikan kepada para pecandu narkoba. Ia hanya mengobati dengan cara mengajak salat, mengaji, pencak silat, hingga bercocok tanam. Itu pun ia tak pernah memaksakan kepada murid-muridnya.
"Enggak ada formula khusus, mereka hanya saya ajak salat, mengaji, pencak silat untuk olahraganya dan bercocok tanam untuk penendalian diri dan hawa nafsunya," kata dia.
Ramuan pengobatan seperti itulah yang ia tanamkan, dan alhasil semua muridnya yang dulunya bekas pecandu narkoba dan narapidana dapat sembuh total.Â
Padahal, awal mula ia tak pernah berniat untuk mengobati orang. Ia hanya mengajak murid-muridnya untuk berkelakukan baik dan peduli tehadap sesama dan juga alam semesta. Terutama, ia hanya ingin mengobati dirinya sendiri.
Selain itu, para murid yang telah sembuh ia fasilitasi untuk bertahan hidup. Mulai dari ia buatkan saung di Gunung Cidegdeg, membelikan alat cuci steam untuk yang ingin bekerja dan membuka lahan pertanian untuk muridnya yang ingin bercocok tanam.
"Kalau perkebunan sebenarnya milik Perhutani, tapi saya sudah dapat izin bahkan legalitasnya sudah kami miliki. Perkebunan itu kami kelola untuk ditanami sayur-sayuran sampai tanaman kopi," kata dia.
Rencananya, tanah perkebunan yang telah diamanatkan oleh pemerintah kepadanya akan digunakan sebagai perencanaan pembuatan wisata alam di Kecamatan Cikancung. Bahkan akan dibuka untuk umum. Pasalnya, tak jauh dari lokasi di tanah perkebunan tersebut terdapat beberapa situs sejarah dan Curug Cihanjuang.
Sejak enam bulan lalu, tanah perkebunan seluas lebih dari 8 hektare dan akses untuk menuju ke situs dan curug tersebut ia buka bersama murid-muridnya dengan biaya pribadi. Tak pernah ia meminta bantuan dana kepada siapa pun untuk mengurus segala keperluan paguyubannya.
"Ini kan tujuannya untuk mendapatkan rahmat Allah, saya enggak mau minta bantuan kepada siapa pun. Saya ikhlas menjalakan ini semua demi kepentingan bersama," kata dia.
Nandang tak berharap banyak, ia hanya ingin jika murid-muridnya dapat menajdi warga negara Indonesia yanh taat aturan dan beragama. Bahkan ia tak mengingikan jika kelak murid-muridnya menjadi seornag pembangkamh yang melanggr aturan negara dan agama.
Egi Ahmad (28) salah seorang murid Nandang yang juga mantan pengguna narkoba mengatakan, ia sudah belajar bersama Nandang sejak tahun 2007 silam. Sejak ia bertemu Nandang, kecanduan akan narkobanya perlahan menghilang.
"Enggak ada paksaan harus berhenti sama Aa mah. Cuma diajarin shalat, ngaji, pencak silat aja. Tinggal sama Aa disini mah dapat banyak pelajaran berharga, hati bisa tenang, bisa mencintai Allah, sesama dan alam, udah bersyukur pisan," kata dia.
Egi kini hanya ingin dekat dekat dengan Nandang, ia bahkan tak memikirkan masalah keduniawiannya. Seperti harus mencari uang sebanyak-banyaknya untuk bekal hidupnya. Ia justru ingin terus belajar untuk dapat menjadi pribadi yang baik.
Hidup di kawasan Gunung Cidegdeg, Egi bersama teman-temannya pun mengaku tak kesepian. Meski tak ada lampu penerangan, aliran listrik mau pun hiburan lainnya. Kesibukan keseharian bersama rekan-rekannya ia habiskan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, bercocok tanam ataupun berlatih pencak silat.
Untuk keuangan, Egi dan rekan-rekannya memanfaatkan dari hasil perkebunan yang telah Nandang amanatkan kepada murid-muridnya. "Uangnya mah enggak seberapa yang penting bisa buat makan itu sudah bersyukur. Yang penting bisa sama-sama dengan Aa dan bisa belajar bersama Aa," katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H