[caption caption="sumber foto: politicoid"][/caption]Dalam Born to Believe: God, Science, and the Origin of Ordinary and Extraordinary Beliefs (2006), Andrew Newberg dan Mark Waldman menyebutkan empat hal yang menentukan bagaimana seseorang memiliki hubungan dengan agamanya. Tulisan ini merupakan pengembangan dari poin yang mereka buat. Saya mengambil ”Islam”sebagai ilustrasi.
Persepsi. Orang mungkin selama ini menyebut anda muslim. Tapi entah karena tidak paham apa yang dimaksud dengan "muslim", atau anda melihat bahwa keseharian anda sama sekali tidak cocok dengan definisi "muslim", maka cepat atau lambat, anda akan mengabaikan sebutan ini. Pengabaian ini mirip dengan ketika seseorang disebut Gorilla (yang tidak cocok dengan perilaku sehari-harinya), atau Brozspawn (yang sama sekali tidak dipahaminya maknanya). Sampai batas tertentu, pengabaian ini bahkan mungkin anda tunjukkan dengan kemarahan bila disebut muslim.
Pengetahuan. Anda mungkin menilai diri anda muslim, setidaknya di KTP, tapi kalau anda tidak bisa membaca Qur'an, yang umumnya sekalian tidak paham bacaan shalat, tidak paham bedanya wajibnya shalat sama wajibnya zakat, tidak paham bagaimana mengurus jenazah orang tua secara Islam ketika mereka meninggal, dan seterusnya hal-hal yang lebih kompleks dalam perilaku beragama, maka suatu saat hubungan anda dengan Islam pelan-pelan akan terputus. Logika mengatakan kita tidak bisa mempertahankan sesuatu yang seiring waktu tidak semakin dikenali dan dipahami.
Dukungan sosial. Anda mungkin merasa muslim KTP, mengetahui sedikit-sedikit tentang Islam, tapi teman-teman anda sama sekali tidak mendukung identitas dan pengetahuan anda ini. Alih-alih mendukung, lingkungan mungkin justru menghambat anda mempraktekkan keislaman anda (ga usah shalat ngabisin waktu, ga usah puasa nyakitin badan, seks di mana-mana yang penting suka sama suka, dan seterusnya). Kalau tidak dapat dukungan sosial, pelan-pelan hubungan anda dengan Islam juga akan terputus. Ini tidak aneh, seorang yang bukan peminum kopi yang setiap malam duduk di warung kopi hanya untuk menemani penyuka kopi, pelan-pelan akan mencoba kopi dan “kehilangan” identitasnya sebagai bukan peminum kopi.
Pengalaman Emosional. Ini mungkin yang paling penting di antara semuanya. Kalau anda mengaku ber- KTP Islam, mengaku nyantri (memiliki ilmu keislaman yang luas), mengaku besar di keluarga relijius (dukungan sosial penuh), tapi tidak pernah sedikitpun mengalami pengalaman emosional yang positif ketika menjalani itu semua, tidak pernah merasa bahwa apa-apa yang diajarkan dalam Islam itu membantu anda lebih kuat menghadapi dunia ini, menyelesaikan masalah-masalah anda, atau memudahkan anda membantu orang lain yg punya masalah, maka cepat atau lambat hubungan anda dengan Islam bakal putus.
Pengalaman emosional ini tidak akan pernah didapatkan kalau yg anda kerjakan cuma masuk ke grup debat agama tanya ini itu protes ini itu. Istilahnya, kalau anda mau "merasakan" Tuhan, coba sering-sering tempatkan diri anda dalam situasi antara hidup dan mati, sendiri dan tak berdaya, pertaruhkan segala yg anda punya sendirian, ambil kano atau kayak terjun ke sungai deras atau sekalian melawan badai laut, bertualang sampai ke batas nyawa, jangan cuma memegang gadget main game, atau membandingkan satu kitab [suci] dengan kitab [suci] lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H