Mohon tunggu...
setan berpikir
setan berpikir Mohon Tunggu... -

Pernah selamat dari tenggelam di Pantai Kuta, Bali karena sebuah buku bekas seharga lima ribu rupiah yang dibeli di Pasar Blauran, Surabaya...dan buku itu bukan tentang berenang. Itu sebabnya aku yakin hidup ini pada dasarnya adalah menyambungkan titik-titik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tafsir Sains Qur’an: Sejarah dan Penolakannya

4 Oktober 2015   05:32 Diperbarui: 6 Oktober 2015   08:13 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di grup facebook "Ateis Bertanya Islam Menjawab" sering muncul post atau komentar yang terkait dengan "Qur'an dan sains modern". Tulisan terjemahan ini merupakan sebuah survei yang lebih mendasar tentang isu ini. [SD/SB]

Tafsir Sains (Tafsir Ilmi) Qur’an harus dipahami dari asumsi bahwa semua temuan dalam ilmu alam telah diantisipasi dalam Qur’an dan bahwa banyak rujukan yang jelas tentang temuan-temuan tersebut di dalam Qur’an. Temuan-temuan yang sudah dikonfirmasi dalam Qur’an merentang dari kosmologi Copernicus hingga kelistrikan, dari keteraturan reaksi kimia hingga kuman penyakit. Metode tafsir yang digunakan adalah membaca teks dengan cara yang biasanya tidak digunakan untuk ayat tersebut. Biasanya penafsir ini memiliki latar belakang medis, farmasi, atau ilmu alam lainnya, bahkan ilmu pertanian, tetapi mayoritas dari mereka bukanlah teolog Islam yang profesional. Meskipun demikian tafsir jenis ini masuk juga ke dalam tafsir Qur’an yang disusun oleh sarjana agama.

Misalnya, dapat dicatat bahwa Muhammad Abduh pun mencoba menempatkan temuan sains modern ke dalam teks Qur’an. Sebagaimana diketahui umum, Muhammad Abduh mempertimbangkan bahwa Jin yang disebutkan dalam Qur’an dapat disamakan dengan mikroba. Dia juga mempertimbangkan bahwa adalah sah untuk memahami bahwa burung-burung Ababil yang melemparkan batu kepada Pasukan Gajah yang disebut dalam Qur’an Surah 105 merupakan serbuan lalat yang dengan kaki-kaki mereka yang kotor, telah menyebarkan penyakit kepada pasukan ini [Tafsir Juz Amma, 158]. Akan tetapi minat Abduh pada tafsir seperti ini masih belum sebanding dengan semangat pendukung tafsir sains: Abduh ingin membuktikan pada publiknya bahwa ayat-ayat Qur’an yang dibahas tidak bertentangan dengan nalar dengan standar sains modern, sementara para pendukung tafsir sains berharap membuktikan bahwa Qur’an ratusan tahun lebih dahulu dari ilmuwan barat, karena Qur’an menyebut apa yang mereka baru temukan di zaman modern. Kebanyakan pendukung tafsir saintifik mengganggap bahwa lebih majunya Qur’an dibanding pengetahuan saintifik merupakan contoh luar biasa dari I’jaz [mu’jizat]nya Qur’an, dan mereka menganggap bahwa I’jaz ini merupakan argumen apologetik yang efektif untuk menghadapi Barat.

Pola dasar dari tafsir saintifik ini sebetulnya tidaklah sepenuhnya baru. Beberapa penulis komentar klasik Qur’an, terutama Fakhruddin Al-Razi, sudah mengungkapkan ide bahwa semua ilmu pengetahuan ada dalam Qur’an. Karena itu para komentator ini mencoba untuk mendeteksi dalam teks Qur’an pengetahuan astronomi zaman mereka, yang waktu itu sebagian besar diadopsi dari warisan Persia-India dan Yunani-Helenistik. Usaha semacam ini masih dilanjutkan oleh Mahmud Shihabuddin Al-Alusi (m.1856) dalam bukunya Ruh Al Ma’ani, sebuah tafsir yang sebenarnya sama sekali tidak menunjukkan kedekatan dengan sains modern Barat. Penulis pertama yang mendapat publisitas dengan menerapkan tafsir sains, yaitu dengan mencari dalam ayat-ayat Qur’an temuan dan kemajuan sains modern adalah dokter Muhammad bin Ahmad Al-Iskandarani, salah satu dari dua bukunya yang dicetak tahun 1880 memasang judul yang mencolok Kashf al-asrār al-nūrāniyyaal-qur_āniyya fī-mā yata_allaq bi-l-ajrām alsamāwiyyawa-l-ariyya wa-l-_ayawānāt wa-lnabātwa-l-jawāhir al-ma_diniyya [Mengungkap rahasia-rahasia Qur’an yang bercahaya terkait dengan benda-benda langit dan bumi, binatang, tumbuhan, dan unsur-unsur logam, 1297/1879-1880]

Tokoh paling penting dari tafsir ini di awal abad 20 adalah Syaikh Tantawi Jawhari dari Mesir, penulis Jawahir fi tafsir Al-Qur’an al-Karim (1341/1922-1933). Karya ini bukanlah tafsir dalam arti biasa, tetapi sebentuk survey ensiklopedik sains modern, atau tepatnya, apa yang dianggap penulis sebagai sains modern—termasuk disiplin seperti spiritisme [ilm tahdir al Arwah]. Jawhari mengklaim bahwa ilmu-ilmu ini telah disebutkan dalam ayat tertentu Qur’an, yang kemudian diuraikannya panjang lebar secara didaktik. Semua penjelasannya ini disisipi dengan tabel, gambar, dan foto. Tidak seperti pendukung antusias tafsir saintifik lainnya, Jawhari tidak menggunakan metode ini terutama dengan tujuan apologetik untuk membuktikan i’jaz Qur’an. Tujuan utamanya adalah untuk meyakinkan saudara sesama muslim bahwa di masa modern mereka harus lebih memikirkan sains dari pada hukum Islam; karena hanya dengan ini mereka dapat kembali memiliki independensi dan kekuatan politik. Penulis lain menulis buku-buku berisi tafsir saintifik ayat-ayat Qur’an terutama dengan tujuan apologetik, di antaranya Abdul Aziz Isma’il (Al-Islam wa l-Tibb wa l-hadits, Kairo 1938, cetak ulang 1957), Hanafi Ahmad (Mu’jizat l-Qur’an fi wasf al-ka’inat, Kairo 1954, dicetak ulang dengan judul At-Tafsir Ilmi al ayat al kawniyya, 1960 dan 1968) dan Abdul Razzaq Nawfal (Al-Qur’an wa l-ilmal Hadith, Kairo 1379/1959).

Beberapa penulis tafsir Qur’an terkenal yang tidak hanya mengandalkan metode tafsir saintifik, tetapi melihat teks Qur’an secara keseluruhan (bukan hanya memilih ayat-ayat yang terkait dengan metode ini), juga menggunakan tafsir saintifik ketika menjelaskan ayat-ayat tertentu. Jadi, unsur tafsir ilmi muncul, misalnya dalam Safwat Al-Irfan (=Mushaf Al-Mufassar, 1903) oleh Muhammad Farid Wajdi, dalam Majalis al-Tazkir (1929-1939) oleh Abdul Hamid Ibn Badis, dan dalam Al-Mizan (1973-1985) oleh ulama Syi’ah Imamiyah Muhammad Husain Thabathabai (m. 1982).

Metode tafsir saintifik seperti ini tidak mendapat dukungan luas di kalangan penulis Muslim yang menulis tafsir atau mendiskusikan metode-metode tafsir. Beberapa diantaranya malah menolak metode ini sama sekali, seperti Muhammad Rashid Ridha, Amin al-Khuli (yang detil penolakannya (Manahij tajdid, 287-296) belakangan dirujuk oleh penulis-penulis selanjutnya), Mahmud Syaltut dan Sayyid Qutb (untuk melihat kritikus-kritikus tafsir ilmi dan argumen mereka, lihat Al-Mu’tasib, Ittijahat al-Tafsir, 302-313 dan Abu Hajar, al-Tafsir al-Ilmi, 295-336). Keberatan terpenting mereka terhadap tafsir saintifik dapat diringkas sebagai berikut: (1) Leksikografinya tidak bisa diandalkan, karena ia secara palsu memasukkan makna modern ke kata-kata AlQur’an; (2) Ia mengabaikan konteks kata atau kalimat dalam teks Qur’an, dan juga sebab-sebab turunnya ayat; (3) Ia mengabaikan fakta bahwa agar Qur’an bisa dipahami oleh audiens pertamanya, kata-kata Qur’an harus sesuai dengan bahasa dan horison intelektual Arab Kuno di masa hidup Nabi—sebuah argumen yang sebetulnya sudah digunakan oleh ulama Maliki Spanyol Al-Syaibi (m. 790/1388) ketika menolak tafsir saintifik di masanya (AlMuwafaqat fi usul al syari’a, ii, 69-82); (4) Ia tidak memperhatikan fakta bahwa pengetahuan saintifik dan teori saintifik pada hakikatnya selalu tidak lengkap dan terbatas sehingga derivasi pengetahuan sains dan teori sains ke dalam ayat-ayat Qur’an sebenarnya berujung pada dibatasinya validitas ayat-ayat ini hanya sampai pada masa ketika hasil sains yang dikutip tersebut masih diterima; (5) yang terpenting, ia gagal memahami bahwa Qur’an bukanlah sebuah buku sains, tetapi sebuah buku relijius yang didesain untuk memberi petunjuk manusia dengan memberi mereka sebuah kredo dan seperangkat nilai moral (atau seperti yang lebih disukai oleh Sayyid Qutb, “prinsip-prinsip yang jelas dari sebuah sistem Islam”). Meskipun sedemikian besar keberatan terhadap tafsir seperti ini, sebagian penulis tetap percaya bahwa tafsir ilmi dapat dan harus diteruskan—setidaknya sebagai metode tambahan yang berguna untuk membuktikan I’jaz Qur’an terhadap mereka yang tidak mengetahui B. Arab sehingga tidak bisa memahami keajaiban gaya bahasa AlQur’an [lihat Hind Shalabi, Al-Tafsir al-Ilmi terutama 63-69 dan 149-164; Ibn Ashur, Tafsir al-Tahrir, i, 104, 128)

Rotraud Wielandt

Sumber: Encyclopedia of the Qur’an vol 2 (2002) hal 129-131

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun