Mohon tunggu...
setan berpikir
setan berpikir Mohon Tunggu... -

Pernah selamat dari tenggelam di Pantai Kuta, Bali karena sebuah buku bekas seharga lima ribu rupiah yang dibeli di Pasar Blauran, Surabaya...dan buku itu bukan tentang berenang. Itu sebabnya aku yakin hidup ini pada dasarnya adalah menyambungkan titik-titik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika HAMKA Dinasehati Bukunya Sendiri: Tasauf Modern

24 Maret 2015   14:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:06 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu buku tasauf yang sempat kontroversial adalah “Tasauf Modern”-nya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amarullah). Buku ini kontroversial karena salah satunya dianggap tidak memiliki pendekatan sebagaimana buku-buku sufi klasik sebelumnya, misalnya Tasauf Modern mengutip Aristoteles, Henrik Ibsen, Thomas Hardy, dan Leo Tolstoy, meskipun juga mengambil pendapat Ibnu Maskawaih, Al Ghazali, An-Nawawi dan sebagainya.

Di akhir Bab Pengantar tentang Tasauf, HAMKA menulis tentang tujuan bukunya ini:


“Kita tegakkan kembali maksud semula dari tasauf, yaitu membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi, menekankan segala kelobaan dan kerakusan memerangi syahwat yang berlebih dari keperluan untuk kesentosaan diri.”

Tulisan ini mengutip secara penuh kata pengantar HAMKA untuk cetakan ke XII  Tasauf Modern, yang terbit tiga puluh tahun setelah cetakan pertamanya.  Sebuah kata pengantar yang jujur mengakui bahwa pada akhirnya semua nasehat yang diberikan pada orang lain pada akhirnya harus diuji di diri sendiri.

Kisah “Tasauf Modern” dan Pengarangnya

Sebelum dijadikan buku, “Tasauf Modern” adalah salah satu rubrik dalam majalah yang saya pimpin di Medan: “Pedoman Masyarakat”.

Karena banyak permintaan pembaca, kemudian dijadikan buku dan keluarlah Cetakan Pertama pada bulan Agustus 1939.

Tiga puluh tahun yang lalu.

Banyak saya menerima sambutan atas buku ini dari sahabat-sahabat karib saya. Ada yang masih hidup dan ada yang sudah meninggal. Seorang dokter sahabat saya, sesudah Perang Dunia II ini juga, pernah menasihatkan kepada pasien yang tengah dirawatnya agar membaca “Tasauf Modern”, guna menenteramkan jiwanya dan melekaskan sembuhnya. Beberapa orang suami istri yang berbahagia mengatakan bahwa “Tasauf Modern” adalah sebagai patri dari kehidupan bahagia mereka. Ada yang mengatakan tiap keluar cetakan baru terus dia membeli. Sebab buku yang ada padanya kerapkali dipinjam kawan dan tidak dikembalikan lagi.

Akhirnya Pengarangnya sendiripun terlepas dari bahaya besar, yaitu bahaya kekal dalam neraka jahannam sesudah hancur nama sendiri dan nama keturunan karena pertolongan “Tasauf Modern”!

Pada hari Senin tanggal 12 Ramadhan 1385, bertepatan dengan 27 Januari 1964 kira-kira pukul 11 siang saya dijemput ke rumah saya, ditangkap dan ditahan. Mulanya dibawa ke Sukabumi.

Diadakan pemeriksaan yang tidak berhenti-henti, siang malam, petang pagi. Istirahat hanya ketika makan dan sembahyang saja. 1001 pertanyaan, yah 1001 yang ditanyakan. Yang tidak berhenti-henti ialah selama 15 hari 15 malam. Di sana sudah ditetapkan lebih dahulu bahwa saya mesti bersalah. Meskipun kesalahan itu tidak ada, mesti diadakan sendiri. Kalau belum mengaku berbuat salah, jangan diharap akan boleh tidur.

Tidur pun diganggu!

Kita pasti tidak bersalah. Di sana mengatakan kita mesti bersalah.

Kita mengatakan tidak. Di sana mengatakan ya! Sedang di tangan mereka ada pistol.

Satu kali pernah dikatakan satu ucapan yang belum pernah saya dengar selama hidup.

“Saudara pengkhianat, menjual Negara kepada Malaysia!”

Kelam pandangan mendengar ucapan itu. Berat!

Ayah saya adalah seorang Alim Besar. Dari kecil saya dimanjakan oleh masyarakat, sebab saya anak seorang alim! Sebab itu maka ucapan terhadap diri saya di waktu kecil adalah ucapan kasih.

Pada usia 16 tahun saya diangkat menjadi Datuk menurut adat gelar pusaka saya ialah Datuk Indomo.

Sebab itu sejak usia 12 tahun saya pun dihormati secara adat. Lantaran itu sangat jaranglah orang mengucapkan kata-kata kasar di hadapan saya.

Kemudian sayapun berangsur dewasa. Saya campuri banyak sedikitnya perjuangan menegakkan masyarakat bangsa, dari segi agama, dari segi karang-mengarang, dari segi pergerakan Islam, Muhammadiyah dan lain-lain. Pada tahun 1959 Al-Azhar University memberi saya gelar Honoris Causa, karena saya dianggap salah satu Ulama Terbesar di Indonesia.

Sekarang terdengar saja ucapan:

“Saudara pengkhianat, menjual negara kepada Malaysia.”

Gemetar tubuh saya menahan marah, kecil polisi yang memeriksa dan mengucapkan kata-kata itu saya pandangi, dan psitol ada di pinggangnya.

Memang kemarahan saya itulah rupanya yang sengaja dibangkitkannya. Kalau saya melompati dia dan menerkamnya, tentu sebutir peluru saja sudah dalam merobek dada saya. Dan besoknya tentu sudah dapat disiarkan berita di surat-surat kabar: “Hamka lari dari tahanan, lalu dikejar, tertembak mati!”

Syukur Alhamdulillah kemarahan itu dapat saya tekan, dan saya insaf dengan siapa saya berhadapan. Saya yang tadinya sudah mulai hendak berdiri terduduk kembali dan meloncatlah tangis saya sambil meratap:

“janganlah saya disiksa seperti ini. Bikinkan sajalah satu pengakuan bagaimana baiknya, akan saya tandatangani. Tetapi kata-kata demikian janganlah saudara ulang lagi!”

“Memang saudara pengkhianat!” katanya lagi dan diapun pergi sambil menghempaskan pintu. Remuk rasanya hati saya.

Mengertilah saya sejak saat itu mengapa maka segala barang tajam wajib dijauhkan dari tahanan yang sedang diperiksa. Di saat seperti itu, setelah saya tinggal seorang diri, datanglah tetamu yang tidak diundang, dan yang memang selalu datang kepada manusia di saat seperti demikian. Yang datang itu ialah SETAN! Dia membisikkan ke dalam hati saya, supaya saya ingat bahwa di dalam simpanan saya masih ada pisau silet. Kalau pisau itu dipotongkan saja kepada urat nadi, sebentar kita sudah mati. Biar orang tahu bahwa kita mati karena tidak tahan menderita.

Hampir satu jam lamanya terjadi perang hebat dalam bathin saya, di antara perdayaan Iblis dengan Iman yang telah dipupuk berpuluh tahun ini. Sampai-sampai saya telah membuat surat wasiat yang akan disampaikan kepada anak-anak di rumah.

Tetapi Alhamdulillah! Iman saya menang.

Saya berkata kepada diriku:

“Kalau engkau mati membunuh diri karena tidak tahan dengan penderitaan bathin ini, mereka yang menganiaya itu niscaya akan menyusun pula berita indah mengenai kematianmu. Engkau kedapatan membunuh diri dalam kamar oleh karena merasa malu setelah polisi mengeluarkan beberapa bukti atas pengkhianatan. Maka hancurlah nama yang telah engkau modali dengan segala penderitaan, keringat dan air mata sejak berpuluh tahun.

Dan ada orang yang berkata: Dengan bukunya “Tasauf Modern” dia menyeru orang agar sabar, tabah dan teguh hati bila menderita satu percobaan Tuhan. Orang yang membaca bukunya itu semuanya selamat karena nasihatnya, sedang dirinya sendiri memilih jalan yang sesat. Pembaca bukunya masuk syurga karena bimbingannya, dan dia di akhir hayatnya memilih neraka.”

Jangankan orang lain, bahkan anak-anak kandungmu sendiri akan menderita malu dan menyumpah kepada engkau.

Syukur Alhamdulillah, perdayaan setan itu kalah dan diapun mundur. Saya menang! Saya menang!

Klimaks itu terlepas.

Setelah selesai pemeriksaan yang kejam seram itu, mulailah dilakukan tahanan berlarut-larut. Akhirnya dipindahkan ke rumah sakit Persahabatan di Rawamangun Jakarta, karena sakit. Maka segeralah saya minta kepada anak-anak saya yang selalu melihat saya (bezoek) agar dibawakan “Tasauf Modern”.

Saya baca dia kembali di samping membaca Al Qur’an.

Pernah seorang teman yang datang, mendapati saya sedang membaca “Tasauf Modern”. Lalu dia berkata: “Eh, Pak Hamka sedang membaca karangan Pak Hamka!”

“Memang!” –jawab saya: “Hamka sedang memberikan nasihat kepada dirinya sendiri sesudah selalu memberi nasihat kepada orang lain. Dia hendak mencari ketenangan jiwa dengan buku ini. Sebab telah banyak orang memberitahukan kepadanya bahwa mereka mendapat ketenangannya kembali karena membaca buku “Tasauf Modern” ini!”

Teringatlah saya kepada peristiwa-peristiwa yang muram itu seketika Sdr. H. A. Malik Ismail datang meminta persetujuan saya akan menerbitkannya kembali, sebagai cetakan ke XII.

Moga-mogalah kiranya buku ini memberi faedah bagi pembacanya, terlebih lagi bagi pengarangnya.

Pengarang

Kebayoran Baru, Januari 1970

Sumber: Prof. DR. HAMKA, Tasauf Modern, Pustaka Panjimas Jakarta, 1988

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun