Mohon tunggu...
sessil
sessil Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Nama saya Sessil Anindhia Adhisti yang sedang berkuliah jurusan Ilmu Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Kenangan Manis Bersama Keluarga Di Jogja

7 Januari 2025   21:13 Diperbarui: 7 Januari 2025   21:13 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Tanggal 1 Januari 2025, menjadi awal tahun yang istimewa bagi saya dan keluarga karena kami memutuskan untuk pergi berlibur bersama. Setelah berdiskusi panjang, kami memiliki tiga pilihan kota untuk destinasi liburan Semarang, Lampung, dan Yogyakarta. Masing-masing kota memiliki daya tariknya sendiri, dan kami sempat kebingungan memilih mana yang paling cocok untuk kami kunjungi.

Semarang, misalnya, memiliki banyak destinasi wisata menarik seperti Kota Lama, Lawang Sewu, dan Sam Poo Kong. Kota ini juga menawarkan pengalaman wisata kuliner yang tidak kalah menggoda, seperti lumpia khas Semarang dan tahu gimbal. Namun, setelah mempertimbangkan cuaca di sana yang biasanya panas, kami memutuskan bahwa mungkin Semarang kurang cocok untuk liburan awal tahun kali ini.

Pilihan berikutnya adalah Lampung, kota kelahiran saya dan sebagian besar keluarga besar kami. Berkunjung ke Lampung selalu menjadi pengalaman yang penuh kehangatan, karena kami bisa bertemu kakek-nenek, paman, bibi, dan sepupu. Selain itu, Lampung juga menawarkan pesona alam yang luar biasa, terutama pantai-pantainya yang terkenal. Pantai Pasir Putih, Pantai Mutun, dan Pantai Sari Ringgung selalu menjadi destinasi favorit kami saat berada di sana. Tidak hanya itu, kuliner di Lampung juga luar biasa menggoda. Ketoprak di dekat Patung Gajah, nasi uduk pinggir jalan, bakso Sony, dan mie ayam legendaris selalu berhasil memuaskan selera kami. Bahkan, setiap kali pulang dari Lampung, tubuh kami selalu terasa lebih gemuk karena tidak bisa menolak makanan-makanan lezat tersebut. Namun, meskipun Lampung memiliki banyak kenangan manis bagi kami, akhirnya kami memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda kali ini.

Pilihan kami akhirnya jatuh pada Yogyakarta, kota yang penuh dengan budaya, sejarah, dan kuliner yang tak ada duanya. Jogja selalu menawarkan pengalaman liburan yang unik, mulai dari kehangatan masyarakat lokalnya hingga tempat-tempat wisata yang sarat nilai budaya. Kami sepakat bahwa awal tahun ini akan terasa lebih spesial jika dihabiskan di kota yang dikenal sebagai "Kota Gudeg" ini.

Di Jogja, kami memutuskan untuk menjelajahi Malioboro, ikon wisata yang wajib dikunjungi. Jalan Malioboro selalu menyuguhkan suasana yang meriah dengan pedagang kaki lima, toko oleh-oleh, dan berbagai tempat makan yang menggugah selera. Tak lama setelah kami tiba, seorang bapak penarik becak menghampiri kami dengan ramah. Dengan logat Jawa yang kental, ia menawarkan jasanya, "Mau naik becak, Pak? Harganya cuma 25 ribu, sudah bisa diantar ke tempat oleh-oleh bakpia, atau ke toko baju." Mendengar penawaran itu, ayah saya langsung mengiyakan tanpa berpikir dua kali.

Bapak penarik becak tersebut lalu mempersiapkan dua becak untuk kami. Becaknya dihias dengan lampu warna-warni yang menarik perhatian. Kami pun mulai berkeliling Malioboro dengan menaiki becak, menikmati pemandangan khas Jogja di siang hari yang dipenuhi jalanan yang khas dan kesibukan para pedagang. Kami berhenti di beberapa toko oleh-oleh untuk membeli bakpia dan membeli celana batik yang dijual di toko oleh-oleh sebagai buah tangan.

Tidak disangka, menaiki becak bersama saudara saya ternyata sangatlah menyenangkan. Sambil duduk berdua di atas becak kami bercanda, berbincang, dan mengabadikan momen dengan berfoto bersama. Hal ini terasa spesial karena cukup langka bagi kami untuk menikmati waktu bersama seperti ini. Kesibukan masing-masing anggota keluarga sering kali membuat kami sulit menemukan waktu untuk berkumpul. Ayah yang sibuk dengan pekerjaannya, kakak yang bekerja di luar kota, serta saya dan adik saya yang masih fokus pada pendidikan membuat jadwal keluarga kami jarang selaras. Oleh karena itu, liburan tahun baru menjadi waktu yang paling tepat untuk berkumpul dan menikmati momen kebersamaan.

Ada yang menarik perhatian saya selama menaiki becak di Malioboro. Saya hampir tidak melihat lagi becak yang masih digowes secara manual. Sebagian besar becak di sana kini telah dimodifikasi menggunakan mesin, sehingga para pengayuh becak hanya perlu menginjak pedal gas untuk membuat becak berjalan. Meski begitu, suasana tradisional Jogja tetap terasa kental, terutama ketika saya melihat delman yang masih beroperasi di sekitar Malioboro. Delman tersebut dihias dengan ornamen warna-warni di keretanya, dan kusirnya mengenakan pakaian khas Jawa lengkap dengan blangkon di kepala. Pemandangan ini sangat khas dan memberikan kesan budaya yang autentik, seolah-olah Jogja tetap berpegang teguh pada akar tradisionalnya meski perlahan mengikuti perkembangan zaman.

Selain mengunjungi Malioboro, kami juga menjelajahi kuliner khas Jogja yang sangat menggoda selera. Kota ini memang dikenal sebagai surganya pecinta kuliner, menawarkan berbagai makanan tradisional yang lezat seperti gudeg, bakmi Jawa, kopi klotok, dan masih banyak lagi. Namun, di antara semua kuliner yang kami coba, ada satu makanan yang benar-benar mencuri perhatian saya, sebuah makanan khas yang disajikan dengan cara tradisional oleh seorang nenek yang penuh semangat. Makanan tersebut adalah Lupis Mbah Satinem, yang bahkan pernah diliput dalam seri dokumenter Netflix berjudul Street Food Asia.

Ketika pertama kali mendengar tentang Lupis Mbah Satinem, saya langsung penasaran dan memutuskan untuk mencobanya. Setibanya di tempat beliau berjualan, saya langsung melihat antrean panjang yang dipenuhi oleh orang-orang yang penasaran ingin mencicipi makanan tersebut. Mereka semua rela berdiri di bawah terik matahari atau dalam suasana pagi yang sibuk demi mendapatkan seporsi lupis yang terkenal ini. Antusiasme tersebut membuat saya semakin tidak sabar untuk mencicipinya.

Yang membuat Lupis Mbah Satinem begitu istimewa adalah cara pembuatannya yang tetap mempertahankan metode tradisional, meskipun zaman sudah semakin modern. Ketika sampai giliran saya, saya menyaksikan sendiri bagaimana Mbah Satinem memotong ketan menggunakan seutas tali tipis dengan tangan yang terampil. Setiap potongan ketan terlihat presisi, lembut, dan rapi. Kemudian, potongan tersebut disusun di atas daun pisang dan disiram dengan gula merah cair yang kental serta kelapa parut yang segar. Proses penyajiannya dilakukan sepenuhnya dengan tangan, memberikan kesan yang sangat personal dan otentik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun