Mohon tunggu...
Sesilia Ajeng Kusuma Putri
Sesilia Ajeng Kusuma Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Kimia Universitas Airlangga

Seorang mahasiswa aktif di Universitas Airlangga. Memiliki keahlian dalam hal kepemimpinan dan publik speaking.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mager Culture: Mager Ga Selalu Loser, Lho!

6 Juni 2024   19:12 Diperbarui: 7 Juni 2024   02:54 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: infiniteens.id

Sebuah fenomena yang semakin merayap dalam dunia pendidikan tinggi adalah "mager culture" di kalangan mahasiswa. Mahasiswa dianggap sebagai agent of change dan batu loncatan bagi bangsa Indonesia karena memiliki potensi dan ide - ide kreatif yang berguna untuk perkembangan bangsa kedepannya. Namun, apa yang akan terjadi jika batu loncatan itu memelihara mager culture? Benarkah mahasiswa yang terlibat dalam budaya "mager" pantas dianggap sebagai loser? 

Malas gerak atau bahasa gaulnya dikenal dengan "mager" merupakan perasaan malas atau kurang motivasi untuk melakukan sesuatu, terutama aktivitas fisik atau pekerjaan. Dalam konteks mahasiswa, mager culture telah menjadi suatu paradoks yang merusak dan menghasilkan dampak yang melampaui kebiasaan sederhana dari menunda -- nunda. 

Berdasarkan perspektif dari paradigma "loser", mager culture tidak hanya dianggap sebagai sifat malas semata, tetapi juga sebagai penanda kegagalan dalam mengoptimalkan potensi diri. Mahasiswa yang terjerumus dalam budaya "mager" cenderung kehilangan minat dalam mencari peluang, mengejar prestasi, dan membangun keterampilan yang diperlukan untuk kesuksesan di masa depan. 

Mager culture memiliki dampak yang merugikan, baik secara individu maupun sosial. Secara individu, mahasiswa yang terperangkap dalam budaya "mager" cenderung mengalami penurunan kinerja akademik, kesejahteraan mental, dan kurangnya rasa pencapaian. Adapun secara sosial, mager culture dapat menghambat perkembangan masyarakat secara keseluruhan dengan menghasilkan generasi yang kurang siap menghadapi tantangan dunia nyata.

"Mager" bukanlah kondisi yang spesifik hanya terjadi pada mahasiswa, melainkan tantangan umum yang dihadapi oleh banyak individu di berbagai lapisan masyarakat. Menurut penelitian oleh para peneliti Stanford University, Amerika Serikat, negara Indonesia menjadi negara paling "mager" di dunia. Sejak tahun 2001 hingga 2016, terdapat 80 persen anak muda di dunia terjangkit malas gerak atau "mager". World Health Organization (WHO) juga telah melakukan survei dan hasil penelitiannya membuktikan bahwa remaja di seluruh dunia tidak cukup bergerak. Survei ini dilakukan dengan melibatkan 1,6 juta siswa dari 146 negara, dimana 85 persen anak perempuan serta 78 persen anak laki - laki tidak mampu melakukan aktivitas fisik selama kurang lebih satu jam. Namun, menyebut mahasiswa yang mager sebagai "loser" adalah generalisasi yang tidak adil. 

Pandangan negatif terhadap budaya "mager" dapat menimbulkan dampak psikologis yang merugikan. Mengkategorikan mahasiswa sebagai "loser" karena sikap malas mereka dapat memperkuat stigma negatif dan menimbulkan rasa malu, serta rendah diri. Hal ini dapat memperburuk situasi dan membuat individu semakin sulit untuk bangkit dan mengubah perilaku mereka. Sebaiknya, kita perlu memahami akar masalah dan mencari solusi yang lebih konstruktif.

Munculnya budaya "mager" dapat menjadi hasil dari sistem pendidikan yang lebih menekankan pada pencapaian akademik daripada pengembangan diri secara menyeluruh. Kurikulum yang padat dan evaluasi yang sering dapat membuat mahasiswa merasa terjebak dalam siklus tekanan dan prokrastinasi. Akibatnya, banyak dari mereka memiliki alasan yang kompleks di balik perilaku prokrastinasi tersebut. 

Salah satu alasan utama mengapa mahasiswa terjebak dalam mager culture adalah karena tekanan yang mereka rasakan. Mahasiswa dihadapkan pada berbagai tuntutan akademis dan nonakademis. Selain tugas kuliah, mereka juga memiliki tanggung jawab sosial, ekstrakurikuler, dan bahkan pekerjaan paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan finansial. Dengan demikian, mereka mencari pelarian dalam aktivitas yang lebih santai dan menyenangkan, seperti menonton film atau berselancar di media sosial.

Menganggap mahasiswa yang "mager" sebagai "loser" atau pecundang dapat berasal dari kesalahpahaman tentang pengalaman, tantangan, dan dinamika lingkungan yang mereka jalani. Tidak semua orang yang santai atau malas beraktivitas tidak produktif atau tidak berprestasi. Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam mengelola waktu dan energi mereka. Kadangkala apa yang terlihat sebagai kemalasan bisa jadi merupakan cara mereka untuk menjaga keseimbangan hidup.

Mahasiswa yang tampak "mager" mungkin masih produktif dengan caranya sendiri walaupun terlihat tidak aktif. Mereka bisa saja menggunakan waktu tersebut untuk berpikir kreatif, merencanakan masa depan, atau mengembangkan ide -- ide baru. Dengan demikian, produktivitas tidak selalu diukur dari aktivitas fisik atau hasil yang terlihat langsung. 

Budaya "mager" di kalangan mahasiswa bukanlah tanda kegagalan atau kemalasan semata. Ini adalah cara mereka untuk mengatasi stress, menjaga kesehatan mental, dan menemukan keseimbangan dalam kehidupan mereka yang sibuk. Daripada menghakimi, kita perlu lebih memahami alasan di balik perilaku "mager" tersebut dan menawarkan dukungan yang lebih konstruktif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun