Ubud. Berdasarkan lontar Markandya Purana yang ditulis berabad-abad lalu, nama Ubud ditranskripsi dari kata Ubad, yang artinya obat. Dan kenyataannya Ubud memang seakan menjadi obat bagi para pendatang yang mencari kedamaian dan inspirasi. Keelokan alam berpadu seni dan budaya yang kental menjadikan Ubud istimewa. Seniman-seniman sekelas dunia macam Rudolf Bonnet dari Belanda, Arie Smit dan Walter Spies dari Jerman pernah menetap di 'desa internationa'l ini. Begitu juga penulis-penulis mancanegara, memilih mampir menetap di Ubud untuk mendapatkan ide-ide bagi buku atau novelnya. Masih ingat kan Elizabeth Gilbert dengan novel Eat Pray Lovenya yang jadi best seller sampai dijadikan film. Sejak buku dan filmnya ditayangkan, Ubud makin terkenal. Begitu juga sang medicine man, Ketut Lier. Rumahnya di Penggosekan tak pernah sepi dari tamu dari pagi hingga sore. Saya sendiri sudah beberapa kali selalu dimintai teman yang datang dari Jakarta untuk menghantar kesana.
Selain alam seni dan budaya, Ubud juga memiliki pesona spritual. Pura-pura yang mengelilingi banjar dan upacara ritual yang sering diadakan seakan membungkus atmosfir Ubud dengan kedamaian magis yang menentramkan. Mungkin karena alasan itu di Ubud banyak ditemui healing center berbasis spritual dan alamiah. Bagi pecinta yoga, Ubud menyediakan banyak sanggar-sanggar dengan bermacam aliran. Dari yang Balinesse clasic yoga sampai yin yoga.
Keunggulan Ubud yang lain adalah karakteristik masyarakatnya yang ramah tamah. Point inilah yang dinilai tertinggi oleh pembaca majalah Conde Nast Traveler, sebuah majalah travel terkemuka dari Amerika, sehingga menjatuhkan pilihan pada Ubud sebagai kota terbaik se-asia tahun 2010 lalu mengalahkan Bangkok, Hongkong, Kyoto, Singapura dan Shanghai. Tentu ini bukan prestasi kecil karena ada 6 kriteria yang harus dipenuhi kandidat kota terbaik tersebut. Antara lain atmosfir/suasana, budaya/situs, keramahtamahan, akomodasi, restoran dan belanja.
Ke-enam kriteria tersebut ada pada Ubud. Atmosfir alam yang elok, budaya yang kental, keramahtamahan yang tulus, akomodasi dari yang super duper mewah sampai homestay yang sederhana, restoran fine dining sampai warung pinggir jalan, dan belanja dari yang kelas butik dengan harga jutaan sampai yang digelar di lapak di pasar tradisional Ubud.
Dengan segala kelebihan dan keunikannya, tidak heran Ubud menjadi magnet bagi wisatawan manca negara dan lokal. Namun masih banyak yang berpikir ke Ubud itu kantong perlu tebal. Dalam majalah-majalah dan buku-buku wisata selalu diperlihatkan wajah Ubud yang 'mahal'. Resort-resort eksotis dengan kamar berlatar belakang lembah, sawah, gunung dan sungai. Tarifnya disebutkan ratusan hingga ribuan dollar. Restoran-restorannya juga begitu. Bebek bengil yang terkenal seporsinya (setengah ekor bebek garing yang yummy) hampir seratus ribu setelah ditambahkan pajak. Resto-resto yang hampir semuanya bernuansa kafe di pusat kota Ubud juga mematok harga minimal 30 ribuan belum termasuk minuman. Saya pernah terjebak di sebuah resto yang penampilannya seperti warung, memesan seporsi makanan pembuka roti ala india, sup sayur dan minuman jahe, terpaksa membayar 80 ribuan. Bagi saya yang berkantong ngepas itu harga yang lumayan mahal.
Namun itu yang terlihat di permukaan, di majalah dan website. Wajah asli Ubud ternyata 'merakyat' juga. Jika anda hanya sanggup membayar di bawah 100 ribu perhari untuk tidur di homestay atau guest house yang lumayan nyaman, masuklah ke dalam pemukiman-pemukiman penduduk seperti di banjar tebesaya, Padangtegal, Penggosekan, Peliatan, banyak sekali pengginapan yang menyatu dengan rumah penduduk. Harga tersebut sudah termasuk sarapan pagi berupa nasi goreng atau plain pancake dan teh manis panas. Keuntungan tinggal menyatu dengan penduduk kita bisa merasakan dan melihat denyut kehidupan mereka sehari-hari. Kegiatan rutin harian seperti membanten, sajen, sembahyang di sanggah, tentunya menarik untuk diamati. Belum lagi arsitektur rumah-rumah asli Bali yang ditempati. Kondisi tersebut sudah merupakan kegiatan wisata tersendiri. Sangat menarik.
Atau kalau mau yang lebih murah lagi Anda bisa mencari ke Petulu, Kedewatan, Teges, Padangtegal. Tapi agak jauh, sekitar 15 sampai 20 menit ke pusat Ubud naik motor.
Untuk urusan perut, Anda jangan khawatir. Banyak pilihan untuk itu. Jika menyukai masakan ala cina, bisa ke warung sandat di daerah Taman, tidak begitu jauh dari pasar Ubud yang terkenal. Masakannya benar-benar yummy! Seporsi tuna panggang yang lezat plus kentang atau nasi ditambah sayur rebus pelengkap hanya 20 ribu. Harga yang sama untuk seporsi udang tepung asam manis dimasak dengan potongan nenas segar plus nasi. Rasanya? Makyuss! Warung kecil yang dikelola sepasang suami istri ini (istrinya bekas juru masak di restoran Cina) selalu ramai pengunjung. Sebagian besar tamunya orang asing. Saking penuhnya, kadang di jam makan malam ada tamu yang rela berdiri di luar menunggu bangku kosong!
Jika suka masakan mix , silahkan ke Mangga Madu di peliatan. Seporsi gado-gado hanya tujuh ribu rupiah! Steak tuna steambot hanya 15 ribu rupiah. Pokoknya murah meriah dan enak. Bedanya tempat ini sangat luas (namun hommy). Jadi jangan takut tidak kebagian tempat duduk.
Atau Anda tentu pernah mendengar nasi ayam bu Mangku di kedewatan? Nah, itu juga sangat terjangkau kantong. Awal tahun lalu terakhir saya berkunjung kalau tidak salah seporsinya hanya 17 ribuan. Mau yang rasa Jawa? ada warung Jawa di jalan Cokorda Rai (Maaf kalau saya tidak salah). Seporsi nasi campur Jawa hanya 7.500 rupiah! Teman saya yang orang Belanda nge-fans banget makan disitu.
Untuk urusan belanja oleh-oleh, silahkan datang ke pasar Ubud di pusat kota (kalau malas ke pasar Sukowati di Gianyar yang jaraknya setengah jam naik motor). Di pasar yang buka sekitar jam 9 pagi dan tutup jam 6 sore tersebut segala macam oleh-oleh ada. Mau baju barong, tas anyaman, patung ukir, pernak pernik sampai topeng Bali ada. Hanya harus pintar menawar. Kadang mereka buka harga gila-gilaan. Contohnya atasan barong yang harganya 15 ribuan dibandrol 40 ribu. Kalau mau lebih murah dan tega menawar sih lebih baik ke pasar Sukowati. Kalau untuk kerajinan tangan atau ukir-ukiran monggo ke jalan raya Andong yang menuju Tegalalang. Disitu bisa dapat harga grosiran.
Masalah transportasi, nah ini yang agak menjadi kendala. Seperti umumny kota-kota di Bali, angkot susah di dapat. Kalo pun ada, di Ubud hanya melayani trayek terntentu dan itupun adanya pagi dan sore hari aja. Dapat dimaklumi kalo angkot-angkot itu malas beroperasi karena penumpangnya sedikit sekali. Bahkan sering kutemui kosong melompong. Mungkin hampir semua penduduk sudah mempunyai kendaraan. Minamal motor. Jadi jalan keluarnya, Anda bisa menyewa motor. Tarifnya bervariasi. Temanku belum lama ini dapat 45 ribu untuk 24 jam. Motor matic baru pula.
Jadi, siapa bilang Ubud untuk yang berkantong tebal saja? Ubud juga bersahabat bagi yang berkantong pas-pasan koq. Rahajeng datang ke Ubud!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H