Kata-kata telah tumbang, menyerak
entah serpihan itu jatuh ke sudut netra
bait-baitnya meruah sekujur lahap
melintang terucap lidah penyair kalap
yang sepagi tadi tak secuilpun mempertanak
syairnya menziarahi  tanah,  jiwa muram
menggurat rima dengan selembar bayu
lalu berayun menyunting rembulan merah saga
yang masih merahim kala gerimis diksi telanjang
di podium jingga sang bunda mentari perawan
dengan sekodi sajak, menapaki  hulu ke hilir buana
melepaskan jeritan dari lolongan serigala malam
Menengking laguan kidung puja puja sang khalam
menyemai belukar yang terhimpit sepetak ilalang
dan menyeruak  dengan guratan  serampangan
Penyair kalap meriuh loka dengan gegap
melantang bumi dengan sebusung langit
mencari selembar titik yang hilang secercah
melupa secarik kertas usang dikepit jiwanya       Â
untuk mengejar ufuk diselasar angan
Penyair – penyair kalap merayu diruas –ruas  partitur
mengeja kata membunuh sepi yang sesepi dengung
mencari roh –roh  syair dalam syiar setiap  renung
tapi kandas di atas mayat yang tak pernah remuk
satu persatu nafasnya mendedah  diam dalam jenuh
@rskp,15062016 Â ,,,,,,,,,,,,,,,,, Â Â jkt
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI