Tanpa terasa telah beberapa tahun kerasnya kehidupan ini ku jalani. Dalam lelah ku mengayuh sepeda memasuki kampung demi kampung, aku berusaha menepis segala kenangan manis yang pernah kami alami di beranda rumah. Sebuah gelas lagi, yang bertuliskan Papa tak pernah tersaja di meja kayu, hanya tersimpan di rak dapur, sebuah gelas kosong, dingin dan telah retak.
Pak Imron, wali kelasnya Daus pernah datang bertamu. Ia ingin melamarku untuk menjadi istri keduanya. Alasannya karena ia merasa kasihan melihat nasibku dan Daus yang tidak mempunyai ayah. Ah! laki-laki, dimana-mana sama saja!
Aku memilih cerai karena tidak mau suamiku beristri lagi, lah kok malah datang lagi seorang laki-laki yang berniat poligami.
“Pak Imron serius? Atau cuma kasihan saja melihat kehidupan kami?”
“Ummi Salsa, niat saya cuma ibadah.”
“Masih banyakkan ibadah-ibadah lainnya yang masih bias kita kerjakan, Pak Imron? Bukan melulu poligami!”
“Jadi bagaimana Ummi, apakah pinangan saya diterima?”
Aku terus berpikir keras, biar bagaimanapun Pak Imron adalah wali kelasnya Daus. Bagaimana kalau dia sakit hati atau kecewa apakah tidak akan berdampak pada sekolahnya Daus?.
“Pak Imron sudah ijin belum dengan istrinya?”
“Memangnya harus ijin Ummi?, bukan kewajiban Ummi.”
“Itu syarat utama dari saya, Pak. Pak Imron harus ijin dulu dan disetujui oleh istri bapak. Istri bapak harus datang menemui saya dan menyatakan kalau ia rela dan ikhlas dunia akhirat untuk di madu oleh saya. Kalau syarat itu sudah terpenuhi saya baru mau dinikahi oleh Pak Imron”