Mohon tunggu...
seri eksotis gulo
seri eksotis gulo Mohon Tunggu... -

Saya berasal dari pulau Nias disebuah desa kecil di kecamatan Mandrehe.saya saat ini sedang kuliah akademi keperawatan di SEKOLAH TNGGI ILMU KESEHATAN ABDI NUSANTA JAKARTA.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penyala Lilin-lilin Kecil

23 September 2010   07:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di sebuah desa dekat lereng gunung Radinia, ada sebuah keluarga dengan seorang anak yang bernama Awang dia tinggal besama ibunya, ayahnya sudah meninggal pada waktu dia umur delapan tahun. Saat ini yang mencari nafkah ibunya. Setiap hari mengumpulkan kayu dan dijual dipasar untuk membeli keperluan rumah. Suatu ketika ibunya terserang penyakit dan tidak ada yang dapat mencari kayu di hutan.

Awang berkata pada ibunya” bu, biar saya yang pergi kehutan mencari kayu, ibu istrahat aja di rumah”. Tidak nak, kamu masih kecil tidak tahu apa-apa. Tutur ibunya. Awang dengan bersikap keras dan kasihan sama ibunya dia menjawab” harta satu-satu yang aku punya tinggal ibu, dan selagi saya bias melakukan saya melakukan bu”. Dengan berat hati ibunya menjawab, silahkan nak, kamu harus hat-hati dihutan.

Hujan deras Awang pergi mencari kayu dihutan untuk di jual dipasar. Ketika diperjalanan dia melihat burung elang yang sedang meminta pertolongan karena sayapnya tercepit diantara ranting kayu yang sudah patah. Timbulah rasa belaskasihan Awang dia lansung membebaskan elang tersebut, dan langsung Awang menyuruh pergi bergabung dengan teman-temannya. Dengan isyarat burung elang berbunyi “Huuuuf…” menandakan terimakasihnya. Karena sudah petang Awang berteduh sejenak dibawa pohon sambil menatap langit. Tiba-tiba terdengar suara kancil yang sudah jatuh ke lubang yang dibuat para pemburu, langsung dia berpkir ini daging enak disantap, ibu pasti senang akan keberhasilan saya. Ketika itu dia mengambil tali mengikat leher kancil itu, dengan muka menyerah dan bunyi “he…he…” yang di keluarkan kancil yang tak berdaya itu, tergerahlah hatinya membantu dan melepaskan, niatnya untuk membawa kerumah untuk dimakan tidak jadi.

Sesampainya dirumah ibunya tambah terlihat lemas dan tak berdaya. Ibunya berpesan kepada Awang “saya sudah tidak lama lagi waktunya untuk menemani kamu,tapi saya berpesan perbuat yang baik kepada siapa saja selagi ada waktu, perhatikan nasib yang lemah karena suatu saat kamu membutuhkan mereka, jangan pada waktu kamu membutuhkan baru kamu baik kepada mereka. Pepatah mengatakan: Gajah mati meninggalkan gading, manusai meninggal akan meninggalkan nama. Jadi lebih baik kamu dikengan dari pada dimaki-maki.” Dengan kata-kata terakhir itu ibunya menghembuskan nafas terakhir, Awang sedih menangisi kepergian ibunya dan selalu mengenang serta mengamalkan dalam hati apa yang telah disampaikan ibunya.
Awang meninggalkan tempat tinggalnya melakukan perjalanan menyelusuri lereng gungung, hingga suatu petang dia sampai di tepi pantai dan mendapatkan seorang nelayang yang sudah tergampar di pantai dan tidak berdaya. Dia lansung membantu dan mengantarkan si nelayan tersebut kerumahnya. Si nelayan itu berutang budi dan merasah kasihan sehingga Awang diperkenankan tinggal dan bahkan dijadikan anak angkat karena dia tidak punya keluarga.
Cerita diatas menunjukkan bahwa setiap manusia perlu bersosialisasi kesesasma serta tidak hanya menjadi penonton saja, tetapi menjadi pelaku aktif dan tidak membuat sesamanya menderita. Sebenarnya cerita diatas merupakan pengantar dari sebuah tokoh yang bernama “Dr. Sjahrir” yang bisa menjadi teladan.

Saya baru menyelesaikan membaca satu buku yang berjudul “CIIL” yang diterbitkan oleh Yayasan Padi dan Kapas bekerja sama dengan Kepustakaan Populer Gramedia. Dengan banyak halaman 662; 15 cm x 23 cm.
Dalam buku itu menghimpun kenangan banyak orang tentang Sjahrir, mulai dari kenalan dekat dan teman seperti petugas parker, penjual kaki lima, pengusaha, sampai ilmuan dan pejabat tinggi pemerintah.

Sjahrir lahir di Kudus, Jawa Tengah pada tanggal 24 Februari 1945 dari ayah dan ibu berdarah Minangkabau. Selama 63 tahun lebih masa hidupnya (wafat 28 juli 2008). Sjahrir menyelesaikan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan pada tahun 1978 melanjutkan studi ke Harvard Univesity, Amerika Serikat dan memperoleh gelar Ph.D untuk political Economy and Government, pada tahun 1983.

Sjahrir menikah dengan Nurmala Kartini Pandjaitan, antropolog lulusan UI yang mendapatkan gelar Ph.D untuk Antropolog dari Boston, Amerika Serikat pada tahun 1990. Suami istri Sjahrir-Kartini dikaruniakan dua anak Pandu Patria Sjahrir dan Gita Rusmida Sjahrir.
Saya tidak pernah bertemu dengan beliau, tetapi saya kenal dia lewat buku “CIIL”, dan menurut saya beliau merupakan pahlawan bangsa yang perlu di teladani cara berpikirnya. Dalam buku CIIL ini memberikan gambaran tentang sosok Sjahrir atau nama panggilan Cill, tukang makan, humor, tidak sabar dalam mengerjakan sesuatu dalam arti tidak suka menunda-nunda waktu, peduli pada rakya kecil, suka menolong orang tanpa membedakan latar belakang, teguh pada pendirian, konsisten, mudah bergau, cerdas.

Semasa kuliah di FE UI, beliau selalu memikirkan kepentingan bangsa dengan aktif dalam berbagai organisasi sebagai penyalur pemikiran dan tempat untuk berjuan, seperti Ikatan Mahasiswa Djakarta (Imada), mendirikan Group Diskusi UI (GDUI). Lewat itu beliau membangun jaringan dalam melawan pemerintahan yang tidak memperhatikan rakyat. Sampai beliau masuk dalam jeruji besi/ penjara dalam peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari).
Semangat beliau tidak terhalang dengan keberadaan disana demi mencapai cita-citanya. Tembok penjara tidak menghalangi cintanya. Buktinya dia menikah dengan Kartini pada tanggal 9 Desember 1977 dengan mengambil cutinikah selama dua minggu dan kembali lagi mejalankan masa tahanannya. Sesudah bebas dari jeruji besi, melanjutkan studi doctoral di Amerika Serikat.
Setelah kembali ke Indonesia, beliau melanjutkan perjuangannya untuk bangsa Indonesia, mendirikan Yayasan Padi dan Kapas, menyelenggarakan Sekolah ILmu Sosial (SIS), Perhimpunan Indonesia Baru, sampai beliau mencalonkan diri menjadi presiden pada pemilu 2004 dengan Partai Perhimpunan Indonesia Baru. Itu semua perwujudan cintanya terhadap bangasa dan NKRI.
Beliau mempunya ideologi pandangan politik yaitu keadilan, pemerataan dan demokratis. Dia juga salah seorang pemikir utama social ekonomi kerakyatan.
Beliau banyak yang tidak senang disebabkan karena keterusteranganya dan tidak suka basa-basi. Sikap ini membedakan dengan budaya banyak bangsa Indonesia, yang untuk menyampaikan sesuatu tergantung pada caranya.

Tetapi justru yang seperti itu yang bagus. Saat ini harus terus terang dan tidak mengulur-ngulur waktu dalam menyelesaikan masalah. Bangsa kita saat ini banyak sekali kasus yang belum selesai dikarenakan mengulur-mengulu waktu bahkan tidak mau menyelesaikan suatu masalah. Ini didasarkan karena kekurangan pedulian terhadap bangsa ini. Contoh: masalah KPK, Bank Ceantury, dan lain-lain. Yang hangat-hangat sekarang masalah HKBP.

Dr. sjahrir seorang pluralism sejati yang benar-benar mengamalkan NKRI. Sebagai bukti, beliau sendiri seorang muslim dan istrinya Kristen batak, anak laki-lakinya muslim, anak perempuannya Kristen. Jadi disini kelihatan bahwa tidak membeda-bedakan asal usul dan latar belakang.
Kita merindukan sosok seperti beliau pada saat ini, benar-benar penyala lilin didalam kegelapan. Ada satu kata-kata beliau yang mengandung makna dalam: “ dari pada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin.” Makna dari kalimat ini sangat dalam.

Saat ini bangsa kita membutuhkan orang yang dapat menyalakan lilin tersebut, bangsa kita sangant terpuruk saat ini karena dilanda oleh krisis multi dimensi baik dari segi pendidikan, kemiskinan, terlebih moral. Kita sedang menuju kehancuran total sebagai bangsa persatuan. Kita tidak lagi kembali pada dasar NKRI, seakan sedang berpacu saling menghancurkan sesame kita baik atas nama agama atau kepercayaan, suku, politik, norma dan adat-istiadat. Demokrasi yang kita harapkan saat ini sedang menuju jalan buntu. Sosialbilitas atau rasa bertanggung jawab terhadap bangsa, warga kecil tidak ada. Sekarang banyak pejabat menjadi penonton tidak mau menjadi pemain yang aktif.

Jadi harapan kita semua pemerintahan mampu mewujudkan dan membangun masyarakat majemuk dengan penuh demokratis, demi kesejahteraan umat, mengusahakan keseimbangan yang adil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun