Mohon tunggu...
Subhi Muhammad
Subhi Muhammad Mohon Tunggu... -

Guru mengaji di surau desa. Pembuat puisi yang tak pernah jadi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Hujan Bercerita

8 Agustus 2014   20:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:02 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan selalu indah bagi sebagian manusia. Bukan karena sensasi yang terkandung dalam kemampuannya mengubah warna kehidupan, bukan juga karena keindahannya memecah serpih tetesnya menjadi pelangi, bukan pula karena keadilannya mendistribusikan tumpahan kepada setiap tanah yang dinaungi awannya. Tapi lebih karena kepiawaiannya meracik airnya dengan kepingan-kepingan memory indah seseorang, yang mungkin telah terkubur sekian lama dengan aktifitas perburuan dunia yang begitu padat. Kadang pula seseorang tidak menyadari bahwa ia memiliki kenangan indah yang berpintal pintal, hujanpun seolah menyadarkannya kembali.

Hujan terkadang memaksaku berkisah tentang haru biru, tangis sendu, dan senyum sayu seorang bocah kampung yang lahir diantara gubuk-gubuk bambu sederhana. Yang selalu merengek minta di buatkan kuda kudaan dari pelepah pisang.

Ketika hujan turun, begitu terasa titipan Sang Pencipta kepadanya, kehidupan bagi setiap nyawa. Ibu akan bergegas membuka pintu belakang rumah, tersenyumsumringahmemanggil anak anaknya untuk mengajarkan pada mereka, begitu berharganya tetes air bagi kehidupan.

Anak anak SD itu tertawa kegirangan, ketika seng atap sekolah berbunyi bak alunan Cello yang semakin keras, mereka akan berlari bergantian mengambil ember, baskom, bahkan kotak kecil tempat bekal mereka untuk menadah air hujan. Saat wadah-wadah itu penuh, mereka memindahkannya kedalam sebuah drum besar di sisi jendela kelas. Jika Drum itu telah penuh mereka akan tertawa lepas karena tugas mereka telah selesai. Dan saat itulah mereka akan memilih, menari dibawah hujan atau kembali masuk ke kelas. Anak anak penadah hujan itu kini tiada, waktu telah mendewasakan mereka. Ibu itu adalah ibuku, dan aku bersyukur menjadi salah satu dari mereka.

Hujan telah membawanya kepadaku, di sebuah hari februari di masa yang tak dapat lagi ku hitung dengan kata, saat aku duduk di kelas 3 Sekolah Menengah Pertama. Sekotak coklat putih berpita dan sepucuk surat, ia perjuangkan sampai di depan rumahku. Ia memberikannya tanpa banyak bicara, kemudian pergi di telan hujan. Dulu aku tak mengerti kenapa ia lakukan ini. Sekarang aku baru tahu apa penyebabnya. Surat itu adalah bagian terpenting dalam hidupnya dan aku sama sekali tak membalasnya. Andaipun aku membalasnya, aku tak akan bisa membalas perasaannya dengan perasaan yang sama. Hingga kini, aku tak tahu kabarnya. Tapi hujan telah mengisahkannya kembali.

Hujan menuntun pikiranku untuk menarik kembali seutas tali kisah, dalam perjalananku menuju sebuah kota kecil di pinggiran wilayah negri. Disana aku menemukan keyakinan tak terbantah tentang sebuah prinsip, “ Merantaulah, kau akan temukan apa yang kau tinggalkan “. Aku benar benar telah menemukannya kembali, ialah sebuah keluarga. Hanya sekedar kata memang, namun banyaknya tak terhitung walau dengan semua tetes hujan sepanjang tahun. Takkan terbeli dengan berapapun harga, takkan tergadai dengan berapapun nilai.

“Harta yang paling berharga adalah keluarga

Istana yang paling indah adalah keluarga

Puisi yang paling bermakna adalah keluarga

Mutiara tiada tara adalah keluarga”

Hujan seperti tidak peduli dengan bunga-bunga yang kelelahan bergoyang-goyang ditimpa jatuhnya, tapi ia peduli terhadap hari terakhirku pada ujung senja di bulan ini, ketika aku bepamitan kepada seorang lelaki perkasa, yang mengantarku ke stasiun dengan senyum bangganya kepadaku, trimakasih Pencipta hujan telah menghapus peluh dari dahinya.

Ia juga memberi kesempatan kepada mentari senja mengintip di sela awannya untuk sekedar melepas pergiku. Kulihat dari balik jendela kereta, mentari senja melambaikan sapu tangan merahnya, tak lupa ia juga berpesan kepada saudaranya untuk menjagaku sampai ibu kota, ya.. di kereta itu, Senja Bengawan.

Ia selalu mengingatkanku dengan petir yang ia lemparkan ke dunia, untuk menunduk patuh dengan Dzat yang memberikannya perintah. Ia memberiku pelajaran berharga dengan aroma tanah basah, bahwa kelak aku akan menuju kedalamnya. Tapi ia juga tak mau membuatku begitu takut, terkadang ia munculkan pelangi indah, yang membuat pandangku terangkat ke langitNya, mengajarkanku bahwa harapan selalu ada dalam perjalanan panjang ini.

Ketika hujan turun, ia selalu mengajakku berhenti sejenak untuk menemaninya bercerita.

(Jakarta 22 Oktober 2011)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun