"Saya tidak tau, yang terjadi mungkin Malind tipu Malind." kalimat yang menjelaskan masa kepemimpinan bupati anak-anak Malind, mulai dari Bapak T.M. Gebze, Bpk Johanes Gluba Gebze, Bpk Romanus Mbaraka, dan Bpk Frederikus Gebze. Tetapi menurut ketua LMA Kabupaten Merauke tidak ada perubahan.
Saya terjemahkan kata perubahan itu merujuk pada eksistensi Malind Anim pada semua bidang kehidupan. Selama masa kepemimpinan para bupati Malind Anim, tidak ada perubahan drastis dari kehidupan Malind Anim diatas tanah leluhurnya sendiri. Â Perubahan ke arah yang lebih baik.
Perubahan terkait indeks pembangunan manusia Malind. Yang meliputi angka harapan hidup, angka harapan sekolah, taraf hidup ; konsumsi rumah tangga, dan rata-rata pendidikan. Diperparah lagi dengan pencaplokan hutan-hutan adat Malind Anim untuk keperluan investasi agribisnis dalam skala besar. Terjadi perampasan secara sistematis, terstruktur dan massif.
Perubahan-perubahan tersebut tidak terjadi pada saat putra-putra terbaik Malind Anim menduduki tampuk kekuasaan sebagai Kepala Daerah Kabupaten Merauke. Malah yang terjadi adalah semua ruang-ruang hidup dimonopoli, dikuasai, dan didominasi oleh orang non Papua. Implikasinya ruang hidup Malind Anim semakin sempit, mengecil dan menuju ambang kepunahan secara sistematis, terstruktur, dan massif. Â
Di Pasar Mopah Baru, kita masih melihat Orang Asli Papua (Malind Anim) berjualan di tanah. Beralaskan daun pisang dan karung. Komoditas jualan mereka masih tetap sama. Sementara dikiri dan kanan jalan berdiri, kios-kios pedagang orang non Papua. Orang Asli Papua (Malind Anim ) masih mengalami kesusahan dalam akses permodalan.
Padahal dana otonomi khusus yang dikucurkan untuk ekonomi kerakyaatan berbasis kerafian lokal nilainya mencapai puluhan milyar untuk satu kabupaten dalam satu tahun.Â
Pesan tersebut sekaligus menjadi kritik pedas kepada Malind Anim diatas tanah leluhurnya sendiri. Jangan kita menari-nari diatas penderitaan rakyat kecil. Sementara kita sibuk melayani konstalasi dan dinamika politik untuk mengamankan kantong-kantong pribadi. Orang Asli Papua (Malind Anim) mereka sedang jalan pungut kaleng-kaleng bekas untuk dijual. Bahkan sebagian sudah jadi pengemis dipinggir jalan.
Pertanyaan apa yang salah dengan kepemimpinan putra-putra terbaik Malind Anim ?
Lantas kemudian kita langsung menyalahkan, bahwa ini mutlak salah bupati, sebagai kepala daerah ? tidak mesti demikian, sebab pemerintahan suatu daerah tidak bisa berjalan tanpa ada pengawasan dari lembaga legislative atau DPRD Kabupaten Merauke.
Dengan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran, maka sepak terjang eksekutif akan tetap dalam radar pantauwan DPRD. Artinya anggota DPRD yang merupakan penyambung lidah "kaum tak bersuara" seharusnya berani menegur eksekutif dengan fungsi pengawasannya, ketika ada persoalan yang terjadi di masyarkat akar rumput.
Pada saat arus migrasi spontan yang masuk ke Kota Merauke, melalui jalur laut dan udara sudah tidak terkontrol, maka harus ada upaya dari DPRD untuk memproteksi penduduk Kabupaten Merauke dengan membuat regulasi berupa Perda tentang pengendalian dan pengontrolan jumlah arus masuk penduduk. Kemudian diimplementasikan.
Pada saat sumber daya manusia Malind pada tingkatan Sekolah Dasar dan menengah berada dalam posisi termarginalkan, maka DPRD dengan kewenangannya membuat regulasi dalam bentuk perda tentang pembebasan biaya sekolah atau subsidi. Sumber dananya dipakai dari dana OTSUS sektor pendidikan.
Pada saat Orang Asli Papua (Malind Anim) kesusahan dalam akses permodalan. Maka dengan fungsi legislasi DPRD membuat Perda tentang jaminan permodalan di Bank. Sumber dananya dipakai dari dana OTSUS sektor Ekonomi Kerakyatan. Sehingga Orang Asli Papua (Malind Anim) tidak usah menjaminkan sertifikat tanah-nya untuk mendapatkan modal dari pihak Bank. Sebab pemerintah sudah menjamin semuannya. Syukur-syukur kalau masih memiliki sertifikat tanah.
Pada saat Orang Asli Papua (Malind Anim) kesusahan dalam mendapatkan pekerjaan. Maka dengan fungsi legislasinya DPRD membuat Perda tentang kesempatan untuk diutamakan dan didahulukan dalam mendapatkan pekerjaan disemua bidang kehidupan.
Semua itu berlandaskan semangat undang-undang No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Yaitu, perlindungan, pemberdayaan, dan keberpihakan kepada Orang Asli Papua di semua bidang kehidupan. Artinya orang asli papua (Malind Anim) dalam bingkai OTSUS harus diperlakukan secara khusus. Termasuk perlindungan dan keberpihakan pada eksistensi Orang Asli Papua (Malind Anim) di bidang politik.
Hal ini yang sebenarnya menjadi sumber persoalan menjelang Pilkada Kabupaten Merauke bulan desember 2020. Perbedaan pandangan politik, mengakibatkan terjadi-nya fragmentasi sosial pada tatanan masyarakat di Kabupaten Merauke khususnya, pribumi Malind Anim. Yang dipicu oleh dikotomi prespektif terkait Calon Bupati harus Malind Anim. Terjadi perbedaan pandangan antara Tim Ed Hok bentukan LMA dan Organisasi Pemuda Malind.
Tim Ed Hok bentukan LMA Kabupaten Merauke berpandangan bahwa yang merasa diri warga Negara Indonesia mempunyai hak untuk dipilih dan memilih. Selama dia masih berada dalam wilayah Negara kesatuan republik Indonesia. Suku bangsa mana-pun yang ada di Nusantara ini bebas mencalonkan diri sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Merauke. Sebab tidak ada aturan yang melarang dan membatasi untuk hal itu.
Seperti kata Tokoh Masyarakat H. Waros Gebze dalam konferensi pers tersebut. " orang Malind itu legowo angkat tangan. Ia sudah, saudara-saudara jalan, saya sampe disini. Tapi kalau masih ribut itu bukan orang Malind. Patut untuk dipertanyakan."
Mungkin maksud Haji Waros Gebze, sebagai orang Malind anda harus tetap legowo walaupun diperlakukan tidak adil, harus tetap diam dan jangan ribut. Sebagai orang Malind anda harus tetap legowo, walaupun hak kesulungan mu dirampas oleh orang non Papua dan harus tetap diam, jangan ribut.
Sementara Organisasi Pemuda Malind tetap bersikeras dengan komitmennya bahwa Calon Bupati adalah anak asli Malind. Walaupun tidak ada payung hukumnya,tetapi hak kesulungan itu harus menjadi milik Malind Anim. Sebab harga diri Malind Anim sudah diinjak-injak diatas tanah leluhurnya sendiri.
Apa yang diperjuangkan oleh organisasi pemuda Malind ini pantas untuk mendapatkan apresisasi dan penghargaan. Karena jabatan kepala daerah merupakan jabatan strategis. Kepala daerah adalah pengambil kebijakan dan keputusan tertinggi pada daerah tersebut. Pada saat jabatan itu dipengang oleh orang non Papua maka, kepentingannya yang akan di utamakan diatas tanah Anim Ha.
Untuk menyelesaikan dualisme tersebut ada baiknya kedua entitas itu duduk sama-sama mencari solusinya. Sehingga diharapkan ada rekomendasi atau kontrak politik yang lahir dari pertemuan kedua lembaga tersebut. Rekomendasi atau kontrak politik tersebut selanjutnya diberikan kepada para calon Bupati dan Wabup Kabupaten Merauke.
Misalnya, ada tidak, Â VISI,MISI dan program kerja para kandidat terkait peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) Orang Asli Papua (Malind Anim). Kemudian didalam visi,misi dan program kerja tersebut harus tertulis dengan gamblang dan jelas, bukan tersirat. Sehingga dapat diimplementasikan pada saat kandidat tersebut menjadi Bupati dan Wabup terpilih.
Jangan karena persoalan kantong pribadi dan piring makan. Kemudian persoalan Orang Asli Papua (Malind Anim) hanya dijadikan sebagai retorika politik dan komoditas politik. Setelah pilkada selesai maka semua juga berakhir dengan sendirinya.Â
Selayaknya orang tua, harus memanggil dan menasehati anaknya apabila terjadi kesalahan atau perbedaan pandangan. Â Jangan biarkan anak tersebut bertumbuh tanpa bimbingan, contoh, dan teladan dari orang tua.
Salam... _ADN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H