Perempuan yang sama kembali kudapati mematung, mencelupkan ujung jari kakinya yang membiru pada genangan pagi. Tanpa menoleh - entah sadar atau tidak bahwa aku disini - dia memberi celah pada bibirnya dan membiarkan serenteng aksara mengalir dari sana,
"Ketika tiba saatnya aku menangisi kepergian itu, tolong, tersenyumlah untukku.."
Sebab yang satu itu lebih pasti dari datangnya Idul fitri,
ketika kau sibuk mempersiapkan segala hingga meninggalkan puasa dan ibadah sunnah muakkadnya,
apakah sesungguhnya yang membuatmu yakin bahwa satu Syawal akan kau jumpa?
Lalu baju baru, kue-kue dan semaraknya suasana, membuatmu memilih meninggalkan apa yang diwajibkan-Nya..
Padahal yang lebih pasti, ialah mati, sedang menanti..
Bila tak kau reguk berkah Ramadhan,
lantas apakah sesungguhnya yang kau rayakan?
Dan untuk apa baju yang kau beli, nastar yang kau buat ini hari,
bila sebelum habis ramadhan,
yang tertinggal darimu hanyalah nama pada nisan dan kenangan?
"Ketika tiba saatnya aku menangisi kepergian itu, tolong, tersenyumlah untukku.."'
_Tanpa Hasrat, Tanpa Mimpi. Cilacap 06:11 pagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H